*Tulisan ini menjadi bagian untuk mendorong PBESI dalam inisiasi untuk Player Esports Ladies, termasuk dalam hal pencegahan segala ketidakadilan berbasis gender.
GAMEFINITY, Jakarta – Wajahnya berseri dengan senyuman yang khas membuat mata sipitnya seperti hilang. Dialah Vivi Indrawaty, sang player esports yang mendapatkan medali emas di SEA Games 2023 cabang olahraga MLBB Putri. Vivian sapaan akrabnya menjadi bagian penting dalam ajang perhelatan negara-negara ASEAN tersebut.
Dirinya adalah roamer (role play dalam Mobile Legends) yang kemampuannya setara dengan player esports laki-laki. Dirinya juga menjadi bagian dari Bigetron Era, sebuah tim esports ladies yang memiliki segudang prestasi di MLBB. Bahkan kompetisi antar tim-tim se-ASEAN berhasil dimenangkan dengan catatan tanpa kekalahan.
Vivian tidak lahir secara tiba-tiba menjadi pemain besar. Dirinya dalam Bigetalk mengakui sebelum masuk scene ladies adalah publik yang mencoba peruntungan di platform streaming. Setelahnya baru dirinya ditawari jadi penjoki dan ikut dengan seseorang yang saat itu masuk tim Victim.
Perjalanan Player Esports di scene ladies memang kerap miliki lika-liku. Hal seperti itu dirasakan hanya satu orang, Funy atau Fanny Chyntia bahkan player GPX juga mengalami hal yang sama. Dirinya bahkan memilih untuk kabur dari rumah untuk menjadi player Evos Lynx saat itu. Kini nama Funy diperhitungkan sebagai seorang Player Esports yang memiliki kemampuan mumpuni.
Baca juga:
Scene Ladies Mengalami Pasang Surut
Scene Pro Perempuan memang tidak seramai scenes Pro lelaki yang memang memiliki kompetisi reguler dan kompetisi sampingan yang bermunculan. Kompetisi reguler scenes ladies sendiri untuk Mobile Legends hanya ada Woman Star League (WSL). Pada PUBG Mobile ada kompetisi PUBG Mobile Valkyrie Battle Ground (PMVB). Sedangkan lainnya adalah Free Fire Master League Ladies Series (FFML LS).
Permasalahan pada scenes ladies memiliki kompleksitas yang tinggi untuk menjalaninya. Sehingga beberapa tim yang telah eksis membentuk tim ladies justru tidak bertahan lama. Evos Lynx yang pernah juara WSL, menyatakan non-aktif untuk sementara. Beberapa tim seperti Onic Zenith dan Alter Ego Nyx memilih untuk membubarkan diri.
Caramel, Jungler tim GPX ini mengatakan sedikitnya kompetisi ladies dan perbedaan kualitas di scenes ladies sangat terlihat. Jadi banyak tim memilih untuk bubar, karena scenes ladies sendiri saat ini masih kurang peminat terlihat dari Peak Viewers di saat streaming Youtube.
Scenes ladies memang dapat dikatakan kesulitan mendapatkan ruang dan kesempatan kompetisi. Secara official kompetisi-kompetisi yang didukung di Indonesia hanya ada Mobile Legends Women Invitational (MWI), FFML LS, dab PMVB. Sisanya tidak banyak kompetisi official, beberapa kompetisi ladies WSL, Unipin Ladies, dan PLCC.
Baca juga:
Kompleksitas Scenes Ladies dan Stigma yang Membayanginya
Scenes ladies memang memiliki kompleksitas yang tinggi. Menjadi Player Esports Ladies, bukan cuma butuh keterampilan, tetapi juga fisik yang dianggap menarik. Hal itu diakui oleh Salah seorang pengurus komunitas Free Fire (Nama disamarkan), yang mengatakan banyak player ladies yang kalah dari segi fisik jadi jarang dilirik.
“Ada juga yang mengadu harus mau diajak jalan dulu, baru bisa masuk ke tim itu,” ujarnya.
Persoalan ini kemudian diperkuat dengan pernyataan Vivian yang pernah ditolak masuk ke dalam sebuah tim karena masalah followers. Dalam Bigetalk di channel Bigetron TV, Vivian dengan gamblang menjelaskan Alasan dirinya ditolak adalah karena followers yang tidak memenuhi syarat.
Labeling juga kerap dialamatkan pada perempuan yang bergelut di industri esports. Hal itu diungkapkan oleh Elsa Brand Ambassador (BA) tim Aura Esports dan Gebian (BA) tim Onic Esports. Mereka mendapatkan label, bahwa karena fisik saja dirinya dipilih menjadi BA tim tersebut. Padahal mereka mengungkapkan pada acara Talkpod saat itu sudah berusaha dan tidak hanya mengandalkan fisik.
Stigma pada perempuan di bidang olahraga tidak hanya terjadi di ranah esports. Pada ranah sports umum, permasalahan stigma juga terjadi. Hal itu dapat dilihat pada framing media yang memberi spotlight justru pada sisi seksi perempuan di ranah sports.
Zahra Muzdalifah, atlit sepak bola putri dalam wawancaranya dengan WELeague, menyatakan dirinya merantau jauh ke luar negeri, karena minimnya kompetisi untuk putri.
“Tidak ada liga sepakbola wanita di negara saya, bagaimana saya meningkatkan keterampilan saya,” ujarnya dalam video wawancara WE League.
Baca juga:
Menanti Asa untuk Scenes Esports Ladies
Meskipun perempuan banyak menghiasi industri esports, tetapi perannya sebagai player sangatlah minim. Data dari earningesports.com, dari 500 top player esports Indonesia, hanya 55 player esports ladies yang masuk dalam jajaran itu.
Tentu saja pertanyaan kembali dititikberatkan kepada Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) yang memiliki wewenang dalam pembinaan esports. Apalagi setelah tim nasional MLBB Putri telah mendapatkan medali emas pada ASEAN Games.
Menanggapi hal itu, Debora Imanuella selaku staf Sekretaris Jendral (Sekjend) PBESI mengatakan bahwa memang perlu ada suatu inisiasi. Perkembangan Esports ladies juga tidak dapat dipandang sebelah mata, meskipun menurutnya dalam esports tidak ada gender.
“Tidak ada gender ya, ladies bisa bermain dengan para lelaki jika memang mereka mampu bersaing. Tapi tentu inisiasi untuk player esports ladies harus diadakan,” jelas Debora ketika ditemui dalam acara pemberian bonus untuk atlet penyumbang medalj emas di kantor PBESI.
Dirinya menjelaskan tunggu saja, bahwa tidak lama lagi akan ada sebuah forum group discussion (FGD) untuk membahas ini. Tentunya PBESI akan menggandeng banyak stake holder untuk melakukan ini.