All posts by Dzakwan Ahmad

Just a college student who like to play games even I have a lot of things to do Je peux si je veux Shirogatana

Review Just Cause 2: Map Cantik di Game Lawas

GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Just Cause 2 merupakan sebuah sekuel dari serial game yang memiliki konsep open world. Banyak orang membandingkan game Just Cause dengan seri Grand Theft Auto. Namun, perbandingan tersebut tidak setara karena Just Cause lebih mengusung gameplay yang menghibur dan tidak terkesan realistis.

Just Cause pertama kali diluncurkan pada tahun 2006 oleh Avalanche Game sebagai pengembang. Game pertama tersebut menerima tanggapan yang kurang baik dari para pemainnya.

Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 2010, Avalanche Game merilis sekuel Just Cause terbarunya, yaitu Just Cause 2. Kali ini, Just Cause 2 dipasarkan oleh Square Enix.

Berbeda dengan game pertamanya, Just Cause 2 mendapat banyak pujian terkait dengan kualitas grafis yang ditawarkan. Menggunakan Havok Engine dan Avalanche Engine 2.0 membuat game ini memiliki grafis yang berkualitas.

Yuk, langsung saja ke pembahasannya!

Tampilan Interface Just Cause 2

Just Cause 2 Main Menu | Personal Archive
Tampilan Main Menu dari Just Cause 2 | Personal Archive

Ketika awal memasuki permainan, kita akan disuguhi oleh berbagai logo yang membangun game ini. Mulai dari Havox Engine, Nvidia PhysX, hingga penerbitnya yaitu Square Enix dan pengembangnya Avalanche Studio.

Memasuki main menu tampak tampilan dari menu tersebut terkesan rapi dan bergaya khas game AAA. Tampilan tersebut memudahkan para pemain untuk mengatur segala hal sebelum permainan dimulai.

Suara yang dihasilkan saat transisi pilihan juga terkesan enak didengar dan cocok dengan tema yang ada pada main menu.

Dalam permainan punya cerita yang berbeda. Tampilan data sang tokoh Rico terkesan lengkap namun kelihatannya terlalu kecil bahkan untuk layar sebesar 14 inci. Interface pada PDA juga terkesan ribet karena harus bergabung dengan peta dunia yang sangat luas.

Admin Rating: 7/10 (Tampilan menu bagus, namun masih kurang optimasi saat dalam permainan)

Story dalam Just Cause 2

Just Cause 2 Story | Personal Archive
Sebuah Cutscene di Sebuah Misi pada Game Just Cause 2 | Personal Archive

Ya, game ini memiliki sebuah cerita. Seorang agen organisasi rahasia bernama Rico Rodriguez dikirimkan oleh organisasinya untuk mengevakuasi seseorang dari pulau negara tropis bernama Panau. Negara Panau ini saat itu sedang mengalami masa-masa coup d’état atau biasa disebut kudeta oleh pihak militer.

Rico disini ditugaskan untuk menyelamatkan orang tersebut, mendapatkan informasi, dan menghancurkan rezim militer yang berkuasa. Uniknya, untuk melanjutkan cerita lebih jauh, para pemain diwajibkan untuk menyebabkan chaos dengan mensabotase camp militer. Setelah itu barulah terdapat misi yang dapat melanjutkan cerita di Just Cause 2.

Meski begitu, ketika bermain game ini, terkadang pemain akan lupa bila ada cerita tentang latar belakang Rico di game ini. Hal ini disebabkan oleh sistem eksplorasi unik yang terlalu mendominasi permainan ini. Selain itu, perkembangan cerita juga dapat terbilang lambat dan dibarengi dengan cutscene yang sama sekali tidak membuat tertarik.

Admin Rating: 5/10 (Saking membosankannya untuk mengikuti cerita, lebih asik melakukan eksplorasi)

Baca Juga: The IDOLM@STER Shiny Festa, Jadi Produser Agensi Bakat 765

Gameplay Just Cause 2

Just Cause 2 Map | Personal Archive
Tampilan Keseluruhan Peta pada Just Cause 2 | Personal Archive

Seperti yang dikatakan sebelumnya, sisi eksplorasi di game inilah yang membuat nama Just Cause dikenal. Para pemain akan diberikan map kosong di awal permainan dan ditugaskan untuk berkunjung ke beberapa tempat untuk memperlihatkan nama tempat tersebut.

Selain itu, sistem travel di game ini juga dapat dikatakan membuatnya seru. Mulai dari grappling hook, parasut, hingga ratusan jenis kendaraan yang dapat dikendarai.

Kepulauan Panau menjadi latar dari game ini. Kepulauan ini memiliki beberapa iklim berbeda, seperti pegunungan salju di tengah, hutang tropis di pinggiran, dan gurun pasir di sebuah pulau yang terletak pada barat daya.

Berbicara dengan map dan tempat eksplorasi, game ini menawarkan map berukuran lebih dari 1.000 kilometer persegi. Sebagai perbandingan, game GTA IV yang rilis di generasi yang sama hanya memiliki map seluas 16 kilometer persegi. Angka tersebut juga tidak dapat dibandingkan dengan map GTA: SA yang hanya punya luas 38,2 kilometer persegi. Namun tenang, dengan map yang luas game ini sudah punya sistem quick travel ke destinasi yang sudah dieksplorasi sebelumnya.

Dengan sisi eksplorasi yang menojol, sisi lainnya banyak yang masih dirasa kurang. Meskipun termasuk game action shooter, Just Cause 2 memiliki varian senjata yang sedikit. Ditambah lagi feels menembak yang agak kacau khususnya pada senjata SMG dan Revolver.

NPC juga menjadi masalah tersendiri. Pasalnya, NPC di game ini terkesan hanya diprogram untuk berjalan dan berlari. Bahkan, polisi dan tentara di game ini hanya punya kelebihan menembak senjata dengan sistem AI yang sama. Sementara pasukan elit sama seperti polisi namun dengan health yang lebih tebal.

Admin Rating: 8/10 (Sistem eksplorasinya patut diapresiasi, namun masalah AI dan gameplay lainnya masih kurang)

Grafis

Parachute Just Cause 2 | Personal Archive
Terbang Menggunakan Parasut Sambil Melihat Pemandangan | Personal Archive

Dapat dikatakan grafis game ini memukau untuk tahun 2010. Shader dapat di-render dengan baik, detail kecil seperti fisik pohon dan ledakan juga diperhatikan oleh sang pengembang. Tekstur dari game ini juga terkesan jelas meskipun dilihat dari jauh.

Dan yang paling penting adalah, optimalisasi dari game ini sudah di luar nalar. Dengan grafis yang memukau dan tingkat render lingkungan yang jauh, game ini mampu berjalan di perangkat low-end sekalipun dengan sangat baik. Hanya saja yang kurang adalah kendaraannya yang sekalinya pergi dari pandangan biasanya langsung hilang.

Admin Rating: 10/10 (Kelebihan grafis di game ini mampu menutupi kekurangannya di hal lain)

Audio

Musik terdengar bagus dan cocok untuk berbagai situasi. Suara lingkungan dan alam sudah dapat dikatakan pas. Namun, yang perlu diperhatikan adalah suara karakter.

Selain sang tokoh utama, Rico, seluruh suara dalam karakter ini terkesan garing dan tanpa penjiwaan. Khususnya bagi karakter dengan bahasa inggris aksen melayu. Suara mereka seperti datar dan tanpa penjiwaan sama sekali. Satu lagi, suara kendaraan di game ini monoton parah. Meski beragam, jarang kendaraan yang punya suara unik dalam game ini.

Admin Rating: 6/10 (Salah satu kelemahan dari Just Cause 2 adalah di aspek ini)

Baca Juga: Dark Souls 3 Kembali Mendapat Update baru

Addictivity

Berbicara tentang replayability, game ini dapat dibilang hanya worth untuk ditamatkan sekali. Akan tetapi, bila sebuah progress permainan belum 100%, maka game ini sepertinya masih layak dimainkan mengingat adanya Steam achievement di game ini.

Admin Rating: 6/10

Worthiness

Just Cause 2 merupakan sebuah game berbayar di Steam. Base price game ini berkisar di harga Rp. 107.299,00. Harga tersebut termasuk mahal untuk game berusia 12 tahun.

Namun, ketika ada sale, harga game ini bisa anjlok di harga Rp. 10.729,00. Kalau di harga promo, tentu game ini dapat dikatakan sangat worth untuk dibeli. Apalagi DLC milik game ini hanya berharga di sekitar Rp. 5.000,00 per item saat sale.

Admin Rating: 9/10 (Hanya saat sale, jangan beli di harga penuh)

Kesimpulan

Just Cause 2 merupakan sebuah game yang menonjol dari sisi grafis dan sistem eksplorasi. Meski punya 2 hal yang menjadi nilai jual, game ini masih banyak hal yang perlu dibenahi seperi di sisi audio, mekanisme shooting, dan AI di dalam game-nya. Di harga promo, game ini merupakan salah satu pilihan game ketika uang terbatas.

Admin Total Rating: 7.5/10

Jepang dan Kontribusinya dalam Industri Game

GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Berbicara mengenai peran sebuah negara dalam industri game, tentu saja Jepang menjadi salah satu yang paling berpengaruh dan terkenal. Saking terkenalnya, Jepang menjadi kiblat game di benua Asia, setidaknya hingga berbagai game free-to-play asal Tiongkok mulai menyerang pasar.

Arkade Jepang | Tokyoesqe
Suasana Pusat Arkade di Jepang | Tokyoesqe

Meski sudah melewati masa emasnya di tahun 1980 hingga 1990-an, Jepang saat ini masih menjadi rumah dari industri game di Asia. Mulai dari konsol, game, pengembang, hingga beberapa tradisi yang masih ada hingga saat ini.

Sejarah Awal Kontribusi Jepang dalam Industri Video Game

Jepang dan game memulai hubungannya di tahun 1966 dengan Sega yang merilis sebuah game berjudul Periscope. Game tersebut merupakan sebuah game simulasi yang mengsimulasikan kapal selam. Pada tahun 1969, Sega memperkenalkan teknologi rear image projection dan salah satu game yang menggunakannya adalah Duck Hunt milik Nintendo.

Dekade 1970-an dan 1980-an merupakan perkembangan pesat Jepang dalam produksi game arkade milik mereka. Sega merilis game arkade Pong milik mereka di AS untuk pertama kalinya pada 1972.

Namun, langkah terbesar bagi industri game di Jepang adalah saat kesuksesan Space Invader di pasaran pada tahun 1978. Selain menjadi langkah awal Jepang di industri game, Space Invader juga menjadi tonggak awal dari masa keemasan game arkade di tahun 1980-an tidak hanya di Jepang, namun juga di berbagai belahan dunia.

Setelah kesuksesan Space Invader, banyak game Jepang lainnya yang juga mengalami kesuksesan dan menjadi terkenal. Sebut saja Galaxian, Pacman, dan Bosconian yang juga hadir sebagai game arkade. Dengan terkenalnya berbagai game tersebut, nilai industri game di dunia mencapai angka US$8 Milyar (setara US$23,8 Milyar di tahun 2021).

Fun Fact: Terdapat sebuah teori urban legend bahwa kelangkaan uang 100 Yen di tahun 1980-an disebabkan oleh suksesnya berbagai game arkade. Karena kejadian tersebut, produksi uang koin pecahan 100 Yen terpaksa ditingkatkan.

Baca Juga: K-On! After School Live, Simpel Rhythm Anti Wayang Club

Kontribusi Jepang dalam Industri Game dari Tahun 1980 sampai Milenium Baru

Awal dekade 1980 menjadi tahun rilisnya konsol handheld pertama yang diproduksi oleh Nintendo, yaitu Game & Watch yang didesain oleh Gunpei Yokoi. Berbicara mengenai konsol, Nintendo juga lah yang mencetuskan ide untuk membuat konsol rumahan berbasis kartrid, yaitu Famicom atau Family Computer. Konsol tersebut mampu menjalankan game arkade seperti Donkey Kong.

Pada tahun 1988 Nintendo menyempurnakan Famicom miliknya dengan merilis Nintendo Entertainment System atau NES. NES lah yang membawa Nintendo melewati Toyota sebagai perusahaan terbesar di Jepang pada tahun 1990.

Banyak yang mengira NES akan menjadi sebuah konsol angin-anginan karena terjadinya fenomena video game crash di tahun 1983 yang membuat industri game turun nilainya. Namun, prediksi tersebut terbukti salah karena faktanya, NES terjual sebanyak 60 juta unit di seluruh dunia. Larisnya NES didukung oleh berbagai game legendaris seperti Super Mario Bros, Metroid, dan Legend of Zelda.

Selain Nintendo, Sony adalah perusahaan lainnya yang bergelut dalam pasar konsol rumahan. Pada awalnya Sony bekerja sama dengan Nintendo untuk merilis PlayStation. Namun, mereka berhenti bekerjasama dan membuat konsol PlayStation milik mereka sendiri yang berbasis CD.

Konsol milik merekalah yang justru laris di pasaran. Selain teknologi yang lebih maju, kesuksesan PlayStation juga dibantu beberapa game terkenal dan fitur lainnya. Hingga saat ini, kedua perusahaan tersebut, Nintendo dan Sony, masih merilis konsol milik mereka masing-masing. Walau begitu juga ada perusahaan seperti Sega dan Atari yang mundur dari pasar konsol.

Negeri Sakura di Industri Game Modern

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Sony dan Nintendo masih melanjutkan pembuatan konsol mereka. Hingga saat ini, mereka berdualah yang menguasai pasar konsol dengan hanya satu kompetitor setara, yaitu Xbox milik Microsoft. Bahkan, PlayStation2 masih memegang rekor sebagai konsol terlaris di dunia dan mengalahkan Xbox di tanah kelahirannya, AS.

Selain dalam pasar konsol, Jepang juga berkontribusi dalam pengembangan video game itu sendiri. Jika kalian pernah bermain game, tentunya kalian pernah bermain game asal Jepang yang ikonik dan terkenal.

Kalau kalian kira game tersebut adalah game “gacha waifu” seperti saat ini, maka kalian salah besar. Karena sebenarnya, developer asal Jepang di zaman dulu menggunakan media game sebagai media untuk menunjukkan performa terbaik mereka. Pengembang seperti Nintendo, Sega, Capcom, Konami, Square Enix, dan yang lain memiliki game ikoniknya masing-masing

Kita ambil contoh game sejuta umat di konsol seri PlayStation, Resident Evil milik Capcom. Seri tersebut mencapai puncak kejayaannya saat RE4 rilis. Dengan grafis yang terkesan “wow” di zamannya, mekanisme menantang, dan penokohan yang pas, hal-hal tersebut menjadikan RE4 menjadi salah satu game terbaik sepanjang sejarah.

Konami, perusahaan yang saat ini menjadi sebuah lelucon dalam industri game juga memiliki berbagai game ikoniknya di masa lalu. Contohnya adalah Winning Eleven yang masih berlanjut dengan nama Pro Evolution Soccer dan berganti lagi menjadi eFootball. PES hingga saat ini menjadi salah satu dari hanya dua game sepakbola terkenal yang dipublikasi selain FIFA milik EA.

Baca Juga: Review Stray, Menilik Dunia Distopia Dari Perspektif Berbeda

Berbicara dengan inovasi, kesempurnaan, dan detail kecil, kita tidak dapat melupakan sang legenda Hideo Kojima. Seri Metal Gear Solid miliknya selalu mengalami kesuksesan. Nilai jual utamanya adalah teknologi yang digunakan yang selalu selangkah lebih maju. Hal tersebut bisa datang dari detil kecil di sebuah game ataupun grafis yang lebih memukau.

Dan untuk yang lain sebut saja Sega dengan Sonic miliknya yang sudah terkenal bahkan dijadikan animasi dan film. Square Enix tidak lupa, dengan seri Final Fantasy milik mereka yang sukses, awalnya sebagai proyek terakhir sebelum bangkrut malah keterusan.

Penutup

Sebenarnya masih banyak yang dapat dibahas, namun bila dibahas semua maka artikel ini tidak tahu akan berakhir kapan dan pembaca mungkin akan cepat bosan. Intinya, kontribusi Jepang di industri game sudah berlangsung sejak lama. Mulai dari zaman arkade hingga zaman modern.

Hingga saat ini masih banyak game asal Jepang yang legendaris. Selain yang telah disebutkan di atas masih ada berbagai game fighting seperti KoF dan Tekken. Lalu ada juga game hack and slash semacam Devil May Cry yang juga sukses di pasaran.

Review Polytopia: Turn Based Strategy Sederhana yang Rumit

GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Battle of Polytopia merupakan sebuah game indie buatan developer asal Swedia bernama Midjiwan AB yang rilis pada tahun 2016. Game ini telah mengalami berbagai perubahan. Termasuk perubahan engine dari awalnya menggunakan Adobe AIR menjadi Unity.

Polytopia dapat dimainkan di smartphone dengan mengunduhnya di play store atau app store. Game ini juga dapat dimainkan di PC via platform Steam. Secara garis besar, meskipun mengusung konsep turn-based strategy, game ini dapat dibuat bersantai di waktu senggang sambil mengasah pikiran.

Yuk, langsung simak review dari game ini!

Tampilan Interface Polytopia

Polytopia Interface | Personal Archive
Tampilan Interface Menut Utama Polytopia | Personal Archive

Tampilan interface dari game ini dapat dibilang sangat sederhana. Hanya ada beberapa pilihan menu yang ditata secara rapi. Namun, kesederhanaan inilah yang membuat Polytopia mempunyai kesan santai.

Interface di dalam game-nya pun juga dapat dibilang to the point. Hanya ada beberapa gambar dan tulisan petunjuk menu yang sederhana. Mungkin developer-nya sengaja mengusung konsep UI yang sederhana agar para pemain tetap nyaman saat bermain.

Admin Rating: 9/10 (Meski sederhana, UI dari game ini sangat mudah dipahami)

Gameplay Polytopia

Seperti game turn-based strategy lainnya, para pemain akan bergerak secara bergantian. Tidak ada yang berbeda dari Polytopia untuk urusan gameplay. Hal-hal seperti tech tree, pemindahan pasukan, serta presentasi sebuah daerah terkesan basic dan sama dengan yang lain.

Polytopia Tribes | Personal Archive
Berbagai Macam Pilihan Suku di Polytopia | Personal Archive

Polytopia memiliki 16 macam suku yang dapat dimainkan. Berbagai suku tersebut terdiri dari 12 suku reguler dan 4 suku spesial. Suku reguler memiliki tech tree yang sama, dengan perbedaan setiap suku memiliki tech tree awalan yang berbeda.

Lalu, 4 suku spesial lainnya, memiliki tech tree yang berbeda dari biasanya. Suku spesial tersebut memiliki kelebihan unik masing-masing. Contohnya seperti Aquarion yang pasukannya dapat berjalan di air, dan Polaris yang dapat merubah air menjadi es.

Polytopia Terrain | Personal Archive
Kondisi Terrain Setiap Suku Memiliki Warna Khas | Personal Archive

Polytopia mampu mengangkat gameplay-nya dengan berbagai macam terrain dan musuh. Pemanfaatan kondisi lingkungan di sekitar kota merupakan sebuah hal yang krusial dalam Polytopia.

Terrain juga menentukan bagaimana seorang pemain memprioritaskan penelitian di tech tree mereka. Karena suku memiliki kelebihan awal yang berbeda, maka setiap pemain wajib beradaptasi juga dengan terrain di sekitar kota awal.

Terkadang kota tersebut berada di tengah perairan. Hal ini berarti teknologi fishing dan sailing wajib dipelajari untuk meningkatkan level kota. Bila berada di daerah hutan, maka teknologi forestry akan menjadi sebuah prioritas.

Polytopia Mode | Personal Archive
Berbagai Macam Pilihan Mode di Polytopia | Personal Archive

Game ini memiliki berbagai macam mode permainan yang dapat dipilih. Perfection adalah mode dimana pemain akan berlomba untuk mendapatkan poin terbanyak dalam beberapa turn yang ditentukan. Domination merupakan mode permainan dimana pemain akan berlomba untuk mengalahkan yang lain dan menjadi pemain terakhir yang ada di map. Dan terakhir, adalah Creative mode dimana pemain dapat melakukan kustomisasi terhadap game yang akan mereka mainkan.

Sebagai tambahan, Polytopia baru saja menambahkan fitur diplomacy. Fitur ini akan menambah variasi pendekatan pemain dengan suku lain. Pemain dapat berkoalisi dengan suku lain, atau juga dapat bermusuhan dengannya.

Admin Rating: 10/10 (Meskipun terkesan sama, banyak fitur yang membuatnya berbeda)

Baca Juga: Review DOKDO, Petualangan Arungi Lautan dan Kuasai Daratan

Grafis Polytopia

Polytopia Grafis | Personal Archive
Tampilan In-Game dari Polytopia Ketika Map Sudah Terbuka | Personal Archive

Grafis dalam game ini mengusung konsep low-poly square shaped. Gaya grafis tersebut memanglah akrab dengan kata sederhana. Penggambaran keadaan lingkungan dan pasukan juga dapat dibilang cukup jelas bila dilihat para pemain.

Mungkin bagi yang suka grafis kualitas tinggi hal ini adalah hal negatif. Namun, di sisi lain grafis ini dibuat sederhana juga bertujuan agar device low-end dapat memainkannya.

Admin Rating 9,5/10 (Grafis sederhana, namun mampu mengangkat permainan dan ramah device kentang)

Audio

Audio merupakan satu-satunya nilai negatif dari game ini. Musik yang berada di menu utama maupun yang ada di permainan terkesan monoton. Memang, musik yang dibawa terkesan santai dan membawa hawa rileks. Namun, variasi yang dibawa hanya satu macam saja.

Mungkin sang developer sengaja membuat hal tersebut agar para pemain dapat bermain sambil mendengarkan lagu favorit mereka masing-masing. Karena, berdasarkan pengalaman admin, mendengarkan lagu favorit lebih enak ketimbang mendengarkan BGM dari game-nya.

Admin Rating: 5/10 (Tidak ada variasi musik, musik sederhana, seolah menyuruh pemain untuk membawa lagu sendiri)

Addictivity

Polytopia memiliki tingkat replayability yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan map yang random membuat setiap permainan terasa berbeda. Dan, tidak adanya cerita membuat game ini tidak hany berfokus pada main story saja.

Sejauh ini, admin masih sering bermain Polytopia baik di smartphone maupun laptop sejak beberapa tahun yang lalu.

Admin Rating: 8/10 (Setiap permainan terasa berbeda karena map yang dibuat random)

Worthiness

Polytopia Steam Price | Steam
Harga Polytopia di Steam | Steam

Meskipun game ini gratis di Play Store maupun App Store, para pemain hanya akan dapat 3 suku yang dapat dimainkan. Sisanya, pemain harus membeli seharga Rp. 15.000,00 untuk setiap suku reguler dan Rp. 30.000,00 untuk setiap suku spesial. Bila ditotal, untuk membuka seluruh suku akan dikenakan biaya Rp. 225.000,00.

Namun, berbeda halnya dengan versi PC. Di Steam harga base game Polytopia adalah Rp. 95.000,00. Base game tersebut sudah membuka seluruh suku reguler. Sementara 4 suku spesial dijual seharga Rp. 25.000,00 masing-masing. Para pemain dapat juga membeli Deluxe Edition seharga Rp. 156.795,00 yang sudah membuka seluruh suku. Tentu saja harga akan turun saat sale, karena Polytopia sering mengikuti sale di Steam.

Admin Rating: 7/10 (Harga mahal dan lebih murah di PC, namun wajar, developer indie perlu dana)

Kesimpulan

Polytopia merupakan turn-based strategy game yang punya keunikan sendiri. Meskipun sederhana, namun gameplay yang dihasilkan tidak sederhana sama sekali. Banyak fitur dan suku untuk membuat berbagai macam variasi permainan. Meskipun audio yang diberikan tidak terlalu bagus dan harganya mahal, Polytopia mampu memberikan pengalaman bermain untuk jangka waktu yang panjang.

Total Admin Rating: 8/10

Baca Juga: Netflix Gaet Microsoft Beri Opsi Berlangganan dengan Iklan

Apa yang Dibutuhkan oleh Developer Indonesia untuk Bersaing?

GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Indonesia, negeri kita tercinta yang para penduduknya sudah tidak asing lagi dengan game, khususnya para anak muda. Kita dapat melihat banyak orang dari berbagai kalangan bermain game dimanapun dan kapanpun. Mulai dari para pemuda yang main bareng di kafe pinggir jalan, hingga para pemain PC yang bermain di warnet ataupun di kamarnya sendiri. Serta para developer Indonesia yang masih berjuang.

Namun, di antara banyaknya para pemain dan penikmat game di Indonesia, ada satu hal yang seperti menghilang. Dapat dikatakan bahwa mereka bukan menghilang, tetapi tidak dianggap. Ya, hal tersebut adalah para pengembang atau developer asal Indonesia.

Beberapa game buatan developer Indonesia mengalami kesuksesan bahkan di kancah internasional. Sebut saja DreadOut dan Coffee Talk di pasar PC, serta Epic Conquest, Mini Racing Adventure di kancah Mobile. Yang lain? Antara sukses di pasar lokal, atau tenggelam karena pasar yang dimasuki punya saingan kuat atau ketinggalan zaman.

Lalu, apa yang dapat dilakukan developer Indonesia untuk dapat bersaing khususnya di pasar internasional? Atau bahkan, dapat berdiri di jajaran beberapa game terbaik di dunia.

Kesalahan Developer Indonesia dalam Memilih Pasar Persaingan

Lokapala Developer Indonesia | Medcom.id
Lokapala, Game MOBA Mobile Asal Indonesia | Medcom.id

Banyak developer asal Indonesia salah dalam memilih pasar persaingan. Contoh paling jelasnya adalah Lokapala. Lokapala merupakan sebuah ambisi serius dari developer Indonesia untuk turun di ranah MOBA Mobile dan sukses di negara sendiri. Namun, yang menjadikan hal tersebut hanya sebuah idealisme yang susah terwujud adalah pasar yang dimasukinya.

Seperti yang kita tahu pasar MOBA Mobile di Indonesia dikuasai oleh Mobile Legends. Dengan kondisi saat ini, penguasaan tersebut sudah berada di level sangat sulit untuk dipatahkan. Namun, satu alasan Lokapala untuk eksis, yaitu untuk mencoba menguasai pasar teramai di Indonesia dengan game buatan lokal.

Seharusnya, para developer memiliki ide untuk dapat memilih pasar lain yang memiliki potensi sama, namun dengan saingan yang masih belum terlalu kuat. Contohnya adalah Citampi Stories, mengusung tema simulasi kehidupan di platform mobile yang sukses di pasar lokal. Hal ini dapat dicapai berkat sedikitnya saingan mereka di pasar tersebut. Alasannya, adalah game tersebut merupakan game gratis dan juga ramah untuk dimainkan pada low spec phone, tidak seperti para pesaingnya.

Baca Juga: Review Otherworld Legends, RPG Isekai Berpadu Martial Arts

Developer Indonesia Membutuhkan Dana

Ya, hal ini merupakan hal terpenting yang menjadi masalah besar. Tidak adanya budget melimpah membuat para developer Indonesia harus berjuang di segmentasi pasar game yang lebih rendah.

Terbatasnya budget dari pengembangan game juga berdampak pada kualitas game yang dihasilkan. Kurangnya orang dalam tim, kurangnya resources yang dibutuhkan, dan kurangnya teknologi adalah beberapa konsekuensinya.

Mencari investor adalah salah satu jalan untuk keluar dari keterbatasan ini. Akan tetapi, mencari investor yang benar-benar punya passion dalam pengembangan game dan tidak melulu tentang uang adalah hal sulit.

Pada akhirnya, bukan berarti dengan kurangnya budget ini para developer Indonesia harus menyerah. Ada satu jalan lain, yaitu mengembangkan sebuah game indie. Game indie dibuat dengan keterbatasan, entah terbatasnya tenaga ataupun uang. Game seperti Coffee Talk adalah contoh dari game indie Indonesia yang mampu menembus pasar global. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan kembali.

Kurangnya Inovasi

Coffee Talk Developer Indonesia | KASKUS
Gameplay dari Game Coffee Talk | KASKUS

Bila membahas game indie, kita pasti akan menemukan sebuah pengertian yang sama secara garis besar. Yaitu, berbagai game yang dikembangkan dengan dana atau resources terbatas, namun masih dapat berinovasi. Inovasi tersebut dapat datang dari gaya grafis ataupun playstyle.

Kita ambil contoh Coffee Talk tadi, salah satu game indie Indonesia buatan Toge Production. Game tersebut memiliki review sangat positif dari para pemain. Lebih dari 5,000 pemain memberikan tanggapan baik. Lalu apa inovasi yang diberikan?

Baca Juga: Naraka Bladepoint Tambah Mode Crossover Fall Guys

Inovasi tersebut terletak pada gameplay yang masih terkesan jarang digunakan. Ditambah lagi dengan cerita yang cantik buatan Almarhum M. Fahmi Hasni dan art style yang sederhana namun unik. Kedua hal tersebut sudah dapat menjadi dua tonggak inovasi yang dapat menjadi tolok ukur dari bagusnya game indie.

Toge Production dapat menjadi salah satu contoh untuk developer lainnya dalam berkarya. Berfokus pada pengembangan dan inovasi demi sebuah game yang dapat memuaskan para pemain. Karena inovasi tersebutlah yang akan membawa nama Indonesia dalam industri game internasional.

Penutup

Sebagai penutup, disini saya ingin menyampaikan suatu hal. Bahwa lebih dari 200 juta oorang di Indonesia, pasti ada yang memiliki bakat dalam proses pembuatan game. Saya percaya bahwa game Indonesia dapat terus berkembang dan nantinya akan bersaing di pasar internasional.

Yang perlu diingat lagi adalah, bahwa game sama halnya dengan karya seni. Game dibuat dengan passion dan bukan hanya untuk meraup keuntungan semata. Mungkin pernyataan tersebut sudah tidak relevan. Akan tetapi, berkaca dengan sejarah game legendaris, faktanya mereka dibuat dengan passion dan semangat dari developer-nya. Semangat tersebutlah yang harus dibawa para developer Indonesia untuk memajukan game dalam negeri.

Bawalah gelar “Game Buatan Lokal” bukan hanya sebagai pemanfaatan overproud, tapi bawalah gelar tersebut menjadi sebuah gelar terhormat di dalam negeri dan di mata dunia.

Tema Zombie dan Masa Keemasannya di Tahun 2000-an

GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Zombie, merupakan sebuah makhluk fiktif yang seringkali dijadikan sebuah tema industri hiburan. Digambarkan menjadi sebuah makhluk mati yang terinfeksi oleh sebuah virus sehingga terkesan hidup di bawah kontrol. Tema zombie sendiri seringkali dikaitkan dengan genre horror survival dalam sebuah film. Namun, keterkaitan zombie dengan genre tersebut dapat berubah dengan satu media lain, yaitu game.

Zombie dalam dunia game sendiri pernah mengalami masa keemasannya di tahun 2000-an. Apa yang membedakan zombie dalam sebuah game dan di dalam sebuah film adalah kebebasan para pemain untuk membasmi mereka. Dengan permainan tersebut, terbukti bahwa para pengembang mampu menjadikan game zombie menjadi lebih interaktif dan terkadang satisfying untuk dimainkan.

Sejarah Awal Game Bertema Zombie

Zombie Entombed Gameplay | Youtube
Gameplay dari Entombed | Youtube

Tercatat dimulainya penggunaan zombie pada sebuah game di tahun 1980-an. Salah satu yang paling awal adalah game “Entombed” yang rilis pada 1982 yang terkenal akan pemrograman di dalamnya yang rumit. Namun, visual di game ini masih terkesan sederhana karena masih dimainkan pada platform Atari 2600.

Tema zombie mulai mendapatkan tempatnya di tahun 1990-an. Tercatat berbagai game seperti Doom dan game arcade House of the Dead mampu memberikan visual zombie yang lebih detil dalam sebuah game. Namun, kedua game tersebut masih belum sepenuhnya mengangkat tema zombie menjadi sebuah tema utama.

Barulah pada 1996, Resident Evil memulai debutnya dalam menghadirkan game dengan tema utama zombie yang terkenal di pasaran. Penggambaran zombie pada game Resident Evil terkesan solid dan patut diliat sebagai sosok zombie sepenuhnya.

Dengan mekanisme kamera dan movement yang tepat, serial Resident Evil mampu menjadi sebuah tonggak yang pas dalam perkembangan zombie di dunia game yang nantinya akan menjadi semakin luas di tahun 2000-an.

Masa Keemasan Zombie di Abad ke-21

Zombie Left 4 Dead 2 Gameplay | Youtube
Gameplay dari Left 4 Dead 2 | Youtube

Memasuki tahun 2000, waktu ketika PlayStation 2 rilis dengan berbagai judul di dalamnya tak terkecuali berbagai game bertema zombie. Bila berbicara tentang zombie dan PS2, tentu saja kita tidak dapat melewatkan salah satu game terbaik, yaitu Resident Evil 4.

Di awal tahun 2000-an banyak game bertema zombie yang dirilis, namun yang paling mencolok adalah Resident Evil 4 yang rilis pada 2005. Game ini dapat memberi sebuah game bertema zombie feels seperti yang kita kenal saat ini. Horror survival dengan mekanisme memuaskan ketika kita membasmi para zombie.

Berlanjut ke tahun 2006, game zombie lainnya yaitu Dead Rising rilis. Berbeda dengan Resident Evil, Dead Rising lebih berfokus pada pengalaman menyenangkan para pemain untuk membunuh para zombie dengan berbagai senjata. Dead Rising merupakan sebuah contoh konkrit dalam permainan zombie yang malah menyenangkan dan tidak terasa horror di saat permainannya.

Dari kedua game di atas, pengembangan game zombie kedepannya telah terfokus pada satu hal. Fokus tersebut ialah bagaimana para pemain dapat bermain game horror dimana para pemain dapat merasa puas dalam membunuh dan terkesan menyenangkan.

Game seperti Call of Duty Zombies dan Left 4 Dead merupakan puncak dari konsep yang diusung tersebut. Kedua game tersebut punya hype yang tinggi dengan style masing-masing yang khas.

Call of Duty Zombies mempunyai kelebihan dalam progression di dalamnya. Contohnya pada Nacht der Untoten, semakin jauh pemain melangkah ke dalam level, mereka akan menemukan variasi senjata yang lebih bermacam-macam. Selain itu adanya wall barrier membuat para pemain harus berpikir kembali untuk mengelola keuangan mereka. Hal ini didukung oleh zombie dan lingkungan yang terkesan gelap dan agresif serta wonder weapon yang menjadi incaran para pemain.

Left 4 Dead dan Left 4 Dead 2 mengusung konsep yang lumayan berbeda. Kedua game tersebut memiliki cerita dan level progression yang berbeda. Memiliki atmosfer yang lebih fun ketimbang CoD Zombies. L4D2 juga lebih menekankan mode co-op milik mereka yang terkenal dengan didukung oleh AI zombie yang dikenal salah satu yang terbaik. Selain agresif, para zombie juga terkesan mencoba untuk memisahkan 4 pemain yang bekerja sama, membuat pengalaman bermain menjadi lebih menantang.

Baca Juga: Bandai Namco Dilaporkan Terkena Serangan Ransomware

Sebuah Pengembangan Unik

Seperti yang disebutkan di awal, pengembangan game bertema zombie tidak hanya melulu tentang game FPS atau TPS horror. Pada tahun 2009, CapCom merilis game bertema zombie dengan konsep berbeda, yaitu Plant vs Zombie.

Ketika biasanya game zombie mempunyai unsur blood and gory shooter yang tidak ramah untuk anak, berbeda dengan PvZ. PvZ lebih mengusung tema zombie yang dapat dimainkan oleh anak dengan konsep tanaman super dengan zombie. Ide revolusioner ini membuat PvZ menjadi salah satu seri game terkenal hingga saat ini.

Apa yang Membuatnya Terkenal di tahun 2000-an?

Salah satu rahasianya adalah bagaimana pemain dapat dengan bebas membunuh para zombie ketika berada di dalam game. Tentu saja hal ini menjadi sebuah motivasi sejak ketika kita menonton film beradegan zombie, para penontonnya jarang diberi plot sebagai makhluk pembasmi zombie.

Bila kita telaah kembali, konsep ini terkesan mirip seperti konsep Doom dimana pemain menjadi superhuman yang membasmi mekhluk jahat, hanya berbeda pada objek yang dibasmi.  Kadang-kadang, kebutuhan para gamer masih tetap sama.

Unsur lainnya adalah konsep co-op gameplay. Bukan rahasia lagi bahwa co-op gameplay merupakan satu unsur penting di kala itu. Game seperti CoD Zombie dan L4D2 yang mengusung konsep tersebut mengalami kesuksesan yang besar. Memang pada saat itu merupakan masa awal dari berkembang pesatnya game online.

Perkembangannya di Dekade Selanjutnya

Era 2010-an memiliki arah game zombie yang berbeda, rata-rata mengusung konsep RTS yang dibarengi dengan story yang kental seperti The Walking Dead, The Last of Us, Dying Light, dan Days Gone.

Beberapa game ada yang menggabungkan unsur stealth dan zombie pada gameplay-nya. Contohnya adalah State of Decay dan The Evil Within yang berhasil memadukan gameplay stealth, zombie, dan unsur survival di dalamnya.

Game yang mengusung konsep co-op multiplayer mulai berkurang, hanya Call of Duty yang masih menjaga tradisinya dan rilis hampir setiap tahun. L4D2 masih menjadi tonggak utama Valve dalam game zombie milik mereka. Namun, Turtlerock Studio merilis Back4Blood untuk melanjutkan L4D2 yang terhambat pengembangan game Valve yang mentok di angka 2.

Baca Juga: Review Hexonia, Battle Era antar Suku dan Peradaban Berbeda

Fallout 76: Cara Bethesda Merusak Fallout dan Komunitasnya

GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Fallout 76 merupakan sebuah game dari seri Fallout yang dirilis pada 23 Oktober 2018 oleh Bethesda. Mengusung konsep baru dari game single player based menjadi multiplayer based membawa minat para fans. DItambah lagi dengan presentasi mereka pada gelaran E3 yang membuat hype Fallout 76 naik sebelum rilis.

Namun, pada nyatanya hype tersebut malah berubah menjadi sebuah bencana. Bukan hanya untuk Bethesda selaku pengembang, namun juga para fans. Bugs dan glitch yang bertebaran, masalah merchandise, hingga dituntut ke lembaga perlindungan konsumen, semuanya tergabung hanya pada satu game ini.

Awal Fallout 76 yang Berantakan

Fallout 76 Bug | Youtube
Salah Satu Contoh BUg yang Ada pada Awal Perilisan Fallout 76 | Youtube

Setelah berhasil membawa sebuah presentasi yang heboh pada acara E3, Fallout 76 menjadi sebuah game yang paling dinantikan oleh banyak orang. Dengan kesuksesan dari game sebelumnya yaitu Fallout 4, Bethesda menjanjikan berbagai improvement yang signifikan pada Fallout 76.

Pada hari rilisnya, sebelum bermain, pemain harus mengunduh aset game yang ada dalam jumlah besar, yaitu sekitar 80GB. Setelah game tersebut telah terunduh, yang pemain dapatkan bukanlah sebuah permainan, tetapi bug dan glitch.

Bug dan glitch dalam game ini terhitung banyak. Mulai dari bug pada pencahayaan, bug pada model fisik di dalam game, dan juga AI yang error dan tidak dapat melakukan apapun, Saking banyaknya, ada sebuah video di Youtube yang menayangkan kompilasi 1001 bug dari Fallout 76 yang berdurasi hampir 3 jam.

Apakah bug dan glitch ini hanya merugikan para pemain? Jawabannya adalah tidak. Percaya atau tidak, bug dan glitch ini juga mempengaruhi pada server Fallout 76. Hingga pada puncaknya ada beberapa orang yang berhasil membobol developer room yang berisi item berharga di dalam game.

Para pembobol ini mengambil item tersebut lalu dijual ke marketplace dengan harga yang lebih murah dari harga aslinya. Tentu saja, karena hal ini Bethesda merasa dirugikan.

Mereka mencoba memperbaiki hal ini dengan menerapkan ban terhadap para pemain yang pernah masuk ke ruangan tersebut. Namun, upaya tersebut percuma karena sistem ban ini lebih mengarah ke pemain secara acak. Ada beberapa orang yang telah menghabiskan waktunya untuk grinding item terbaik hanya untuk di-ban karena mempunyai item tersebut.

Baca Juga: GTA SA: Mengulik Kembali Sang Mahakarya Milik Rockstar

Ketika Fallout Melanggar Hak Konsumen

Tas Kanvas Fallout 76 | Eurogamer
Gambar Tas “kanvas” yang Dikirim oleh Fallout 76 | Eurogamer

Tidak hanya berhenti pada masalah in-game saja, masalah dari Fallout 76 juga mengakar hingga ke hal eksternal. Para pemain yang kecewa dengan perilisan Fallout 76 tentunya akan melakukan satu hal, yaitu refund. Namun, kebijakan refund dari game ini terkesan dipersulit. Hal ini dikarenakan waktu itu Fallout 76 hanya tersedia di platform yang disediakan oleh Bethesda sendiri.

Tentu saja hal ini menjadi sebuah perhatian khusus dari lembaga perlindungan konsumen. Mereka mencoba untuk membawa masalah ini ke pengadilan.

Masalah tidak berhenti pada hal tersebut saja, namun juga ada pada penjualan merchandise.

Fallout 76 juga menjual beberapa merchandise yang dijual, seperti sebotol rum yang ada pada botol Nuka Cola, dan tas kanvas yang bermodel Fallout.

Pertama, masalah yang ada pada penjualan Nuka Cola adalah keterlambatannya yang berlebihan. Setelah pelanggan membeli sebotol Nuka Cola dengan harga US$80, mereka baru mendapatkannya beberapa bulan berikutnya, setelah ditunda berkali-kali.

Baca Juga: Call of Duty: Awalnya Inovatif yang Menjadi Repetitif

Saat paketnya datang pun para pembeli merasa kecewa. Hal ini dikarenakan harga botol seharga US$80 hanyalah botol biasa yang diberi cover Nuka Cola. Tentu saja pembeli merasa kecewa karena mereka berharap bahwa botolnya akan memiliki bentuk roket seperti Nuka Cola.

Dan, untuk masalah tas kanvas adalah masalah yang lebih parah lagi. Fallout 76 mempromosikan bahwa tas yang dijual adalah tas kanvas, namun yang datang adalah tas berbahan nilon. Para pembeli tentu saja kecewa karena kedua bahan tersebut terasa berbeda, dan juga dikirim dengan terlambat. Namun, Bethesda hanya menyangkal dengan alasan bahwa bahan kanvas untuk tas sudah habis.

Sebagai kompensasi sebagai kesalahan Bethesda tersebut, mereka memberikan para player in-game item berupa 500 Atoms yang hanya bernilai US$5. Kompensasi tersebut bahkan tidak dapat membeli sebuah set pakaian postman yang berharga 700 Atoms.

Proses pembelian pun juga tidak lepas dari masalah. Para pembeli diwajibkan untuk mengisi formulir pembelian dengan data penting seperti alamat dan tanggal lahir. Namun, seseorang di internet memberitahukan bahwa formulir online tersebut tidak mempunyai pengamanan khusus sehingga dapat dimasuki dengan mudah.

Meski Fallout 76 saat ini sudah mulai berbenah, namun kejadian yang terjadi di masa lalu tersebut masih sulit untuk dilupakan. Hingga saat ini, insiden perilisan Fallout 76 masih menjadi sebuah image yang buruk khususnya untuk nama Fallout dan Bethesda. Tidak hanya mereka merusak citra mereka di komunitasnya, mereka juga merusak nama mereka di depan umum.