GAMEFINITY.ID Kutai Kartanegara – Menemukan koleksi benda-benda klasik yang langka, adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi para kolektor. Terutama jika koleksi yang didapatkan, merupakan salah satu permainan kartu klasik, keluaran perusahaan permainan raksasa seperti Nintendo.
Sebelum dikenal sebagai produsen video game dan perangkat game konsol, Nintendo sebenarnya sudah terkenal sebagai produsen permainan kartu Hanafuda (kartu remi) buatan tangan asal Jepang. Jika kamu adalah penggemar berat Nintendo, kamu mungkin ingin memilikinya untuk dikoleksi. Dan salah satu orang yang berhasil mendapatkan koleksi kartu klasik Nintendo tersebut adalah Erik Voskuil. Pemilik dari blog Before Mario, yang juga penulis dari buku dengan judul yang sama.
Voskuil baru-baru ini mendapatkan dua paket kartu Hanafuda langka, yang di diproduksi oleh Nintendo pada tahun 1950-an. Paket kartu tersebut tampak dalam kondisi yang cukup baik, dengan gambaran markas Nintendo di sampulnya.
“Saya tidak dapat melebih-lebihkan betapa senangnya saya menemukan kartu Nintendo berusia tujuh puluh tahun ini, menampilkan Kyoto pada 1950-an. Selama bertahun-tahun saya mengumpulkan, ini adalah satu-satunya salinan yang saya temukan. Selain itu, mereka masih disegel! Yang menimbulkan pertanyaan… untuk membuka atau tidak?!” Cuit akun Twitter @beforemario.
Sebagaimana terlihat dalam foto yang dibagikan oleh Voskuil, dua paket kartu tersebut tampak berada dalam kondisi yang cukup baik, untuk sebuah koleksi kartu berusia 70 tahunan. Akan tetapi, setelah paket kartu dibuka, ia tidak mendapati “tumpukan kartu” seperti yang diharapkan. Melainkan, sebuah “blok kartu” yang melekat satu sama lain.
“… ketika saya dengan hati-hati melepaskan bagian dari bungkusnya, saya dengan cepat menemukan bahwa semua kartu telah sepenuhnya menyatu.” Tulis Voskuil di laman blog miliknya.
“Mereka tetap ditekan bersama untuk waktu yang lama, kemungkinan dalam kondisi panas dan lembab, sehingga tinta pada semua kartu memiliki membuat mereka saling menempel sepenuhnya.” Tambahnya.
Kondisi kartu yang saling menempel rapat selama bertahun-tahun, serta tinta pada setiap kartu yang kemungkinan menghangat, mungkin adalah penyebab dari menempelnya kartu-kartu tersebut. Belum lagi dengan kondisi kartu yang tidak dilapisi plastik, seperti kebanyakan permainan kartu modern.
“Tumpukan kartu individu telah berubah menjadi satu bata padat. Cetakan foto pada kartu, yang mengandung tinta dalam jumlah yang relatif besar, mungkin juga berkontribusi pada hal ini.”
“Juga baik untuk dicatat bahwa kartu-kartu ini mendahului kartu ‘semua plastik’. Ini terbuat dari kertas, dan lebih rapuh dari kartu plastik.”
Meski telah menerima saran untuk menyelamatkan koleksi kartu klasik miliknya, Voskuil meyakini bahwa kondisi kartu tersebut sudah tidak tertolong lagi. Dan dia berharap untuk menemukan paket lain untuk dibuka di masa mendatang.
Suka dengan artikel ini? Jangan lupa untuk membaca artikel menarik lainnya hanya di Gamefinity.id/
GAMEFINITY.ID, Bandar Lampung – Natsume Inc. merupakan nama dari dua penerbit game asal Jepang yaitu, Natsume-Atari dan Natsume Inc. Dulunya dua perusahaan ini merupakan perusahaan yang sama tetapi sekarang benar-benar terpisah dengan nama yang sama.
Sebuah perusahaan yang didirikan di Jepang pada 28 Oktober 1987, sebut saja dengan Natsume Co., Ltd. Tidak lama selang beberapa tahun, pada tahun 1988 Natsume mendirikan perusahaan pada divisi Amerika yang diberi nama Natsume Inc.
Ditahun 1995 Natsume Inc. Resmi berpisah atau melepaskan diri dari Natsume Co., Ltd. Dan menjadi perusahaan game yang independen, dengan mempertahankan nama Natsume di perusahaan pada negara masing-masing.
Natsume-Atari – Natsume, Game Company yang Terkenal Berkat Slice of Life-nya
Natsume Co., Ltd. kemudian mengubah nama perusahaannya menjadi Natsume-Atari sehabis merger dengan anak perusahaan Atari di tahun 2013. Ditahun 2013 juga Natsume Inc. yang merupakan perusahaan Amerika meresmikan divisi Jepang dengan nama Natsume Inc. tanpa koneksi dengan perusahaan inti sebelumnya.
Natsume-Atari ini berada di Shinjuku, Tokyo, Jepang dan lebih dikenal dalam pengembangan game-game berlisensi dan Mobile. Selain itu juga, Natsume Inc. yang berlokasi di California lebih dikenal dengan terbitannya pada game-game bergenre dan berorientasi pada kehidupan, friendly, dan slice of life, seperti Harvest Moon dan Reel Fishing.
Selama beberapa waktu di era NES dan SNES, Natsume Co Ltd mengembangkan banyak judul game yang kebanyakannya dilisensikan, salah satunya seperti Power Rangers. Natsume Inc juga menerbitkan banyak judul, seperti SCAT, Wild Guns, ataupun Shadow of The Ninja.
Mayoritas produk Natsume Co Ltd adalah video game yang dikembangkan untuk publisher lainnya. Publisher yang merupakan klien terbesarnya selama bertahun-tahun termasuk Imagineer, THQ, Taito, bahkan Bandai sekalipun. Kebanyakan game Natsume Co Ltd adalah merupakan sub-kontraktor, terkadang menjadi pengembang dengan produk original Natsume Co Ltd, ataupun game kembangan untuk porting antar platform.
Independensi Dalam Beberapa Tahun Terakhir
Hingga akhir 2014, Natsume Inc banyak menerbitkan game yang terkenal sampai saat ini seperti, Story of Seasons di Amerika Utara. Salah satu game terakhir dalam series Harvest Moon adalah Harvest Moon: A New Beinning yang hadir di Nintendo 3DS.
Developer seri Marvelous AQL menjadi bagian pada game Story of Seasons ke Amerika Utara yang bercabang di Amerika Serikat, kemudian Xseed Games memutus hubungan dengan Natsume pada 2015.
Harvest Moon – Natsume, Game Company yang Terkenal Berkat Slice of Life-nya
Hal ini menjadi sebab Natsume merilis game sendiri yang kita kenal hingga sekarang. Sebuah game yang menjadi referensi banyak game-game bertani dengan orientasi slice of life yaitu, Harvest Moon Series. Sebuah series untuk Nintendo 3DS yang dimulai dengan Harvest Moon: The Lost Valley (2014) dan berlanjut dengan Harvest Moon: Seeds of Memories dan Harvest Moon: Skytree Village (2016).
Update informasi menarik lainnya seputar game hanya di Gamefinity. Gamefinity.id menyediakan jasa pengisian top up dan vouchergame dengan cara yang mudah dan pastinya terjangkau.
GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Freemium, sebuah jenis game favorit masyarakat Indonesia. Game yang dapat diunduh secara gratis di berbagai macam platform. Game Freemium juga dapat dimainkan sepuasnya secara gratis untuk selamanya.
Setelah terlibat perdebatan dalam sebuah post Facebook tentang game Freemium yang punya budget lebih dari $100 Juta, membuat admin termotivasi membuat post ini.
Banyak yang mengira bahwa Freemium merupakan sebuah pilihan terbaik bagi yang ingin bermain game namun juga ingin menghemat uang. Namun, benarkah demikian? Dikala rata-rata game dipasarkan dengan label harga untuk mendanai pengembang yang menjualnya, justru game Freemium dipasarkan secara gratis.
Lalu darimanakah pengembangnya dapat bertahan kondisi ekonominya? Apakah game Premium lebih boros karena harus mengeluarkan uang untuk bermain? Yuk, kita bahas lebih lanjut!
Konsep Awal dari Game Freemium
Clash of Clans, Salah Satu Game yang Mengembangkan Sistem Freemium | Clash of Clans
Asal mula dari game freemium adalah pesatnya perkembangan smartphone di akhir dekade 2000-an. Sebuah perusahaan asal Jepang bernama Gree mencoba untuk membuat sebuah game freemium pada platform tersebut. Konsep dari game tersebut adalah “dibuat dengan budget rendah, dipasarkan secara gratis, untuk para pemain dapat mengeluarkan uangnya di dalam game.”.
Bila kalian pernah membaca artikel Konami di Gamefinity, kalian pasti tahu bahwa titik inilah yang menjadi permulaan Konami berubah haluan. Ya, faktornya adalah karena keuntungan yang besar, sistem tersebut dapat dikatakan berhasil.
Setelah dari Jepang, perkembangan game freemium makin pesat. Hingga datanglah suatu game terkenal yang mengubah segalanya. Game tersebut adalah Angry Birds.
Meski saat ini sudah menjadi game premium, pada awalnya game ini merupakan game freemium. Pemain dapat bermain secara gratis, dan dapat membeli item di dalam game dengan membayar. Dan berkat game ini, Rovio dapat menjadi salah satu pengembang terkenal di dunia.
Lalu, sistem freemium ini makin disempurnakan lagi. Kali ini game yang menjadi tolak ukurnya adalah sang legenda, Clash of Clans. Seperti yang kalian tahu, membangun bangunan di CoC memerlukan waktu yang tidak sedikit. Bahkan memakan waktu sampai dua minggu.
Namun, bila kalian cukup mampu, kalian dapat membeli gems di dalamnya. Dengan gems kalian dapat mempercepat waktu upgrade hingga menjadi satu klik daripada dua minggu menunggu. Disinilah konsep freemium disempurnakan, antara kalian grinding berjam-jam atau kalian dapat membeli sebuah currency untuk menghemat waktu. Hingga saat ini konsep ini masih digunakan. Contohnya yang paling jelas, adalah deretan para game gacha, Genshin Impact, Arknight, Blue Archive, PGR, Bang Dream. Atau, game yang memang dikhususkan untuk grinding demi upgrade seperti World of Tanks.
Freemium dalam Konteks Game Kompetitif
Freemium dalam game kompetitif merupakan dua hal yang berbeda. Hal ini dikarenakan fairness merupakan hal penting. Antara pemain yang mengeluarkan uang dan tidak harus dalam kondisi sama dan tidak ada perbedaan. Contohnya yang jelas adalah Mobile Legend, LoL, AoV, Valorant, PUBG Mobile, CoDM, Free Fire, dll.
Untuk game seperti LoL, ML, dan AoV, mereka masih mengusung konsep grinding di dalam game-nya. Grinding ini ditujukan untuk para pemain membuka hero baru agar dapat dimainkan.
Namun, game MOBA seperti mereka juga mempunyai kesamaan dengan PUBGM, CoDM, dan FF. Kesamaan tersebut yaitu menjual kosmetik.
Para developer sengaja menghadirkan berbagai kosmetik baru hampir setiap waktu untuk para pemain agar dapat dibeli. Hal ini membuat sebuah tren sendiri di dalam komunitas pemain, yaitu sang kolektor. Di game AoV yang saya mainkan sendiri, para kolektor mampu mempunyai 300 lebih skin.
Apakah Benar Lebih Murah?
Jawabannya adalah tidak. Secara gamblang dan jelas tidak. Mengapa demikian?
Ketika kalian membeli sebuah game di Steam, contohnya saya yang membeli Assetto Corsa Ultimate Edition seharga hampir Rp. 100.000, saya dapat menikmati game tersebut sepenuhnya tanpa ada gimik pembelian lain di dalamnya.
Sementara itu, para pemain game freemium akan cenderung membeli sesuatu saat ada tambahan item atau karakter di game-nya setiap update. Maka siklus tersebut akan berulang hingga game tersebut tutup atau tidak ada tambahan update lagi.
“Kalau pemain yang main tanpa uang berarti nggak rugi kan bang?”, jawabannya salah lagi. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, konsep grinding adalah membuat pemain bermain game tersebut secara konstan dalam waktu yang lama. Artinya kalian menghabiskan waktu kalian di game tersebut untuk mendapatkan item atau karakter yang diinginkan. Hal ini tidak akan terjadi dalam game premium karena pemain akan mendapatkan satu game penuh untuk dimainkan.
Lalu bagaimana dengan game berbayar yang juga terdapat pembelian lain di dalamnya? Contohnya adalah Rainbow Six Siege dan game kompetitif berbayar lainnya. Beberapa game tersebut merupakan sebuah pengecualian. Alasan klasiknya adalah biaya dasar pembelian game tersebut tidak cukup menguntungkan. Namun, alasan paling masuk akalnya adalah para developer yang memanfaatkan game berbayarnya yang online-based untuk dijadikan ajang pamer dengan item dan kosmetik di dalamnya.
Waktu untuk Grinding dan Bermain Punya Perbedaan
Ketika ada yang berpikir, “kan main game sama aja buang waktu, grinding kok dipermasalahkan?” Masalahnya bukan ada di buang waktunya, tapi ada di waktu itu sendiri.
Ketika grinding game freemium pemain cenderung melakukannya setiap hari. Hal ini tambah dengan bonus login harian yang mendukung. Kegiatan ini terus dilakukan tanpa tahu batasnya.
Sementara waktu gameplay merupakan hal berbeda. Contohnya saat admin menamatkan Far Cry 3 dulu, admin butuh waktu total sekitar 24 jam. Dan hal tersebut tidak dilakukan secara non-stop dan tidak setiap hari. Sehingga admin bisa bermain semaunya.
Penutup
Kesimpulan yang dapat ditarik dari sini adalah kenyataan bahwa yang gratis tidak selalu lebih hemat. Terkadang hal tersebut yang membuat para pemain terjebak dalam rayuan gacha dan item lainnya. Kehilangan waktu yang dipakai untuk grinding pun juga merupakan sebuah hal yang mahal.
Bila kalian ingin berhemat carilah game freemium yang memang sejatinya tidak memancing kalian untuk mengeluarkan uang lagi, contohnya adalah Find Love or Die Trying di Steam yang sudah pernah di-review.
Cara kedua adalah menunggu sale dari game premium. Terkadang game kelas AAA lawas hanya dihargai kurang dari Rp. 50.000 saat diskon. Dengan pengeluaran sesedikit itu, kalian sudah dapat bermain full game tanpa harus grinding berjam-jam.
Cara ketiga adalah memasang Epic Game Store dan menunggu game gratisan dari platform tersebut. Gratis dan legal, sebuah kenikmatan tiada tara.
Namun, tidak dapat dipungkiri, bahwa bagi yang tidak mempunyai modal sama sekali, game Freemium merupakan jalan terbaik bagi seseorang untuk menikmati game. Dan yang lebih penting, bermain game Freemium lebih baik dari bermain game bajakan.
GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Electronic Arts atau biasa dikenal dengan EA merupakan sebuah pengembang dan penerbit game yang sudah terkenal namanya. Beberapa game terbesarnya diantaranya adalah FIFA dan Apex Legend.
Namun, dibalik kesuksesan yang diraih EA hingga saat ini, terdapat beberapa kisah kelam. Kisah tersebut berasal dari para pengembang yang dibeli sahamnya oleh EA.
Bukan hanya satu atau dua, melainkan ada belasan perusahaan game developer yang ditutup oleh EA setelah dibeli. Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan adalah uang. Bahkan, lebih parahnya lagi, IP atau intellectual property milik pengembang juga dieksploitasi oleh EA demi keuntungan.
EA dan Identitasnya Sebagai Pemilik “EA Graveyard”
Pandemic Studio, Salah Satu Developer yang Ditutup EA, Star Wars Battlefront II 2005 Merupakan Karyanya | Steam
EA Graveyard, merupakan sebuah istilah bagi developer yang ditutup ataupun digabung dengan studio lain atas keputusan EA.
Di dalam sejarahnya, EA memulai rantai penutupannya pada tahun 2001. Saat itu mereka menutup Bullfrog Production, pengembang yang mengembangkan game Dungeon Keeper dan Populous. Nasib Bullfrog Production adalah meleburnya perusahaan tersebut dengan EA UK.
Setelah kejadian tersebut, EA kembali melakukan hal yang sama. Mereka membeli sebuah perusahaan pengembang game, menjual IP milik mereka, lalu menutupnya.
Setelah Bullfrog Production, korban selanjutnya adalah Westwood Studios yang menciptakan game Command & Conquer. Meskipun EA membeli mereka pada tahun 1998, lima tahun kemudian EA tidak segan untuk menutupnya, tepatnya pada tahun 2003.
Maxis Studio, pencipta The Sims dan SimCity yang sekarang telah dirubah menjadi perusahaan lain dengan nama yang sama. Black Box Studio yang membesut franchise Need for Speed pada akhirnya juga ditutup. Sementara itu, seri Need for Speed dipindah menjadi proyek milik Criterion Games.
Dreamworks Interactive, yang diubah namanya menjadi EA Los Angeles, lalu diubah lagi menjadi Danger Close Game juga ditutup. Mereka adalah dalan dibalik masa kejayaan seri Medal of Honor. Dan tentunya masih banyak lagi contoh lainnya seperti Headgate Studio, Origin Systems, Mythic Entertainment, dan Phenomic Game Development.
Bahkan, EA berani untuk menutup salah satu studio buatannya sendiri, yaitu Visceral Game yang terkenal dengan Dead Space miliknya. Alasannya juga dapat terbilang klasik.
Seluruh penutupan studio di atas memiliki satu alasan yang sama, yaitu gagalnya mereka dalam memenuhi ekspektasi EA. Kita ambil contoh dengan 2 studio yang masing-masing memiliki seri game terkenalnya sendiri. Dua studio tersebut adalah Black Box Games dengan Need for Speed dan DreamWorks Interactive dengan Medal of Honor. Penutupan kedua studio tersebut dikarenakan berkurangnya peminat dari game masing-masing studio.
Black Box Games tidak dapat menaikkan hype dari NFS setelah mereka merilis NFS MW di tahun 2005. Sementara itu DreamWorks Interactive juga tidak dapat menaikkan hype dari Medal of Honor untuk bersaing dengan Call of Duty. Pada saat itu, EA sudah memiliki penggantinya, yaitu seri Battlefield. Alhasil, Medal of Honor terakhir yang dibuat adalah MoH Warfighter di tahun 2012.
Dengan skema yang sama, mereka menunjukkan bahwa EA tidak segan untuk menutup studio yang tidak menghasilkan keuntungan bagi mereka.
Dalam hal ini, EA juga tidak segan memindahkan IP suatu studio yang telah ditutup ke studio lainnya. Contohnya Need for Speed milik Black Box Games yang diserahkan pada Criterion Game untuk mengurusnya. Padahal EA baru saja menutup produksi seri Burnout milik mereka yang dinilai kurang dapat bersaing.
Skema EA yang dapat disimpulkan hingga saat ini hanya satu. Yaitu, mereka membeli sebuah studio pengembang game untuk diambil IP milik mereka, dan meminta mereka membuat game tersebut dengan gendongan nama EA. Bila gagal studio tersebut akan ditutup. Dan bila IP milik mereka masih memiliki potensi, EA akan memindahkannya ke studio lainnya.
Hal yang sama namun berbeda juga terjadi pada Visceral Game. Berbeda dengan yang lain, Visceral Games merupakan sebuah studio yang memang dibesut EA sendiri. Penutupannya pun ditandai dengan gagalnya Dead Space 3, franchise game milik mereka yang paling sukses, di pasaran.
Apakah Mereka Masih Tetap Sama?
Jawabannya adalah iya dan tidak. EA sampai saat ini masih mempunyai skema yang sama, yaitu membeli studio beserta IP milik mereka untuk dipasarkan.
Saat ini masih banyak pengembang studio berbakat yang ada di bawah naungan EA. Contohnya adalah DICE, PopCap Games, Respawn Entertainment, dan yang terbaru adalah Codemasters yang khas dengan game official F1 milik mereka.
GAMEFINITY.ID, Bandar Lampung – Syn Sophia, Inc. atau dalam bahasa Jepang-nya Kabushiki Gaisha Shin Sofia merupakan studio pengembangan indievideo game yang berlokasi di Kichijoji, Tokyo, Jepang. Syn Sophia didirikan pada 19 Juni 1995, dan menjadi terkenal berkat video game gulat yang cukup populer.
Syn Sophia merupakan salah satu studio pengembang indie video game yang sering berganti-ganti nama, sebelumnya Syn Sophia bernama AKI Corporation dan The Man Breeze.
Studio ini menjadi salah satu studio yang terkenal dan mengenalkan video game gulat virtual pertama yang populer di akhir 1990 dan awal pertengahan tahun 2000-an, yang berawal dari rilisnya Virtual Pro-Wrestling di tahun 1996. Menjadi judul pertama dalam seri Virtual Pro Wrestling.
Pada awalnya, Syn Sophia yang masih bernama The Man Breeze merilis game gulat virtual di tahun 1996. Pengambilan ikut serta perusahaan di World Championship Wrestling terbukti sukses diakhir tahun 1990-an dengan keberhasilan merilis beberapa game, puncaknya pada WCW/nWo Revenge untuk Nintendo 64.
WCW/nWo Revenge – Syn Sophia, Developer Virtual Pro Wrestling Pertama di Dunia
Hal ini mengakibatkan Word Wrestling Federation memutus hubungan kontrak 12 tahun dengan Acclaim Entertainment dan bermitra kepada THQ/AKI pada 1999. Hal ini menjadi awalan yang manis dan berakhir dengan rilisnya WWF No Mercy.
Perubahan Nama Beserta Produk Syn Sophia
Perusahaan sebelumnya yang merilis banyak game bertema gulat mengganti namanya pada 1 April 2007 menjadi Syn Sophia, Inc. Menjadi awal rilisnya genre game yang cukup jauh berbeda dari genre sebelumnya, Syn Sophia mengembangkan game pertama dengan nama Ganbaru Watashi no Kakei Diary untuk Nintendo DS di tahun 2007.
Ganbaru Watashi no Kakei Diary – Syn Sophia, Developer Virtual Pro Wrestling Pertama di Dunia
Namun, mereka masih menggunakan nama sebelum Syn Sophia di beberapa game mendatang hingga 2008 dengan merilis Style Savvy untuk Nintendo DS, dan Ready 2 Rumble: Revolution yang dikembangkan dengan atas nama AKI Corporation USA.
Produk Cross-Genre Atas Nama Syn Sophia
Sebelum Syn Sophia berganti nama dari AKI dan The Man Breeze, studio ini terfokus pada permainan gulat virtual yang salah satunya seperti Def Jam Series dan Virtual Pro-Wrestling. Namun setelah berganti nama menjadi Syn Sophia, studio ini berfokus pada game dengan tema yang cenderung Girly dan game yang interaktif seperti Ganbaru Watashi no Kakei Diary di 2007.
Hal ini menjadi langkah awal Syn Sophia yang berkecimpung di dunia video game idol, serta memulai debutnya bersama dengan Takara Tomy. Salah satu karya hasil debut bersama Takara Tomy dalam seri idol ada pada game, Pretty Rhythm Series.
Pretty Rhythm – Syn Sophia, Developer Virtual Pro Wrestling Pertama di Dunia
Salah satu seri dari Pretty Rhythm pertama Syn Sophia dan Takara Tomy yang berjudul, Pretty Rhythm: Dear My Future yang dirilis pada 2012 bersamaan dengan Style Savvy: Trendsetter untuk Nintendo.
Selain pada perilisan game idol, Syn Sophia juga sempat mengembangkan game bertema action dengan judul Dragon Quest: The Adventure of Dai-Xross Blade di 2020 untuk platform Arcade.
Syn Sophia mengembangkan beberapa game idol dalam kurun waktu yang cukup lama, dengan permulaan pada tahun 2007 hingga 2021. Kebanyakan game idol ini merupakan entri pada seri Pretty Rhythm dan hanya bergerak pada bidang platform sebatas Nintendo, Arcade, dan PlayStation yang walau hanya ada beberapa saja.
Update informasi menarik lainnya seputar game hanya di Gamefinity. Gamefinity.id menyediakan jasa pengisian top up dan vouchergame dengan cara yang mudah dan pastinya terjangkau.
GAMEFINITY.ID, Bandar Lampung – CyberConnect2 merupakan salah satu Developer game asal Jepang yang terkenal akan garapan pada serial hack dan adaptasi game mereka yang bersumber dari animasi Jepang atau Anime. Dikenal juga karena karyanya pada serial Little Tail Bronx yang dimana salah satunya adalah Little Tail Concerto.
Berdiri pada 16 Februari 1996, CyberConnect2 juga bermarkas di Fukuoka, Jepang dan Hiroshi Matsuyama sebagai Presiden sekaligus CEO CyberConnect2. Menjadi salah satu studio yang sempat ikut serta dalam pengembangan Final Fantasy VII Remake, namun berakhir dengan tidak menyenangkan.
Sebagai pengembangan game yang kini terkenal bukan hanya karena .hack series saja, CyberConnect2 lebih dikenal dengan pengadaptasi animasi Jepang. Bagaimana tidak, beberapa game-game kembangan CyberConnect2 berupa game hasil adaptasi dari serial Anime. Salah satu franchise terkenal yang pernah dikerjakan oleh CyberConnect2 adalah franchise Naruto.
CyberConnect2, Daftar Game Cross-Platform Hasil Kolaborasi
Beberapa game kembangan dan hasil kolaborasi CyberConnect2 merupakan game Cross-Platform. Cross-Platform yang berarti game tersebut tersedia dan dapat dimainkan diberbagai platform berbeda. Berikut beberapa game Cross-Platform kembangan CyberConnect2 yang cukup worth untuk pemain mainkan.
Naruto Shippuden: Ultimate Ninja Storm Revolution
Narutimate Revolution – Game Cross-Platform Hasil Kolaborasi dengan CyberConnect2
Naruto Shippuden: Ultimate Ninja Storm Revolution atau lebih dikenal di Jepang dengan Naruto Shippuden: Narutimate Storm Revolution merupakan video game hasil kembangan CyberConnect2 yang kemudian diterbitkan secara berkala oleh Bandai Namco Games. Series ini masuk pada kategori sub-series di Naruto Ultimate Ninja.
Mengambil sumber dari Anime dan Manga dengan judul yang sama milik Masashi Kishimoto. Narutimate Storm Revolution dirilis pada September 2014 di Jepang, dan rilis berkala untuk wilayah luar Jepang. Hadir dalam bentuk video game berbasis di PlayStation 3, Xbox 360, dan Windows.
Menjadi salah satu video game dari Naruto series yang hadir dengan mekanisme pertarungan yang sedikit berbeda. Pemain dapat membentuk sebuah tim berdasarkan kemampuan karakter. Video game ini juga turut menghadirkan mode turnamen dengan format Battle Royale.
Final Fantasy VII G-Bike
Final Fantasy VII GBike – Game Cross-Platform Hasil Kolaborasi dengan CyberConnect2
Menjadi salah satu game kembangan CyberConnect2 yang dapat dimainkan di Mobile, Android. Final Fantasy VII G-Bike merupakan game yang hadir di Mobile dan IOS. Game yang diambil berdasarkan pada franchise Final Fantasy VII milik Square Enix.
Sedikit berbeda dengan Final Fantasy Series lainnya, Final Fantasy VII G-Bike mengusung genre game balap dengan tanpa menghilangkan kesan dan pengalaman RPG di dalamnya.
Dalam series ini, pemain akan mengendalikan sang tokoh utama, Cloud Strife yang mengendarai sepeda motor, melawan musuh dengan senjata Low-Range dan sihir, hingga mendapatkan bantuan dari karakter Final Fantasy VII lainnya.
Final Fantasy VII G-Bike dikembangkan oleh CyberConnect2 dan diterbitkan oleh Square Enix untuk IOS dan Android. Game ini dirilis pada 30 Oktober 2014 sampai Desember 2015.
JoJo Bizarre Adventure: Eyes of Heaven
JoJo Eyes of Heaven – Game Cross-Platform Hasil Kolaborasi dengan CyberConnect2
JoJo Bizarre Adventure: Eyes of Heaven atau JoJo no Kimyou na Bouken: Aizu Obu Hebun adalah game Action yang hadir di PlayStation 3 dan PlayStation 4, dikembangkan oleh CyberConnect2 dan Bandai Namco sebagai penerbit.
Mengambil adaptasi berdasarkan serial manga berjudul sama JoJo’s Bizarre Adventure oleh Hirohiko Araki. Seri Eyes of Heaven sendiri merupakan game seri kedua yang sama-sama digarap oleh CyberConnect2. Sebelumnya juga CyberConnect2 pernah mengembangkan JoJo Bizarre Adventure: All Star Battle pada 2013.
JoJo’s Bizarre Adventure: Eyes of Heaven dirilis awal pada Desember 2015 di Jepang, dan berangsur rilis global selang satu tahun. Game ini dapat dimainkan di PlayStation 3 dan PlayStation 4.
Mungkin telah banyak game hasil adaptasi kembangan CyberConnect2, namun kebanyakan merupakan berasal dari platform non-handheld atau sejenisnya seperti Mobile. Diharapkan kedepannya CyberConnect2 dapat terus memberikan kontribusi kepada industri dunia Mobile.
Update informasi menarik lainnya seputar game hanya di Gamefinity. Gamefinity.id menyediakan jasa pengisian top up dan vouchergame dengan cara yang mudah dan pastinya terjangkau.