GAMEFINITY.ID, Bandung – Rumor tentang konsol Nintendo selanjutnya, kemungkinan bernama Switch 2, akhir-akhir ini semakin banyak bertebaran. Terlebih, Nintendo Switch sudah berusia enam tahun dan disebut sudah mencapai batas kemampuannya dalam memainkan berbagai game terbaru saat ini.
Penggemar setia saat ini sedang menunggu konsol next-gen buatan Nintendo resmi diumumkan dan akan rilis untuk bersaing dengan Xbox Series X|S dan PlayStation 5. Namun, baru-baru ini terdapat laporan bahwa konsol next gen tersebut kemungkinan memiliki masalah backward compatibility. Ini mungkin berpotensi bagi pemain yang ingin bermain judul game yang hanya rilis di Switch di konsol baru tersebut.
Tidak Ada Backward Compability pada Judul Game di Nintendo Switch
Modern Vintage Gamer, seorang content creator sekaligus ahli hardware game dan mantan pengembang yang bekerja untuk Nightdive Studios, mengunggah video untuk menjelaskan kabar tersebut. Menurutnya, Switch 2 berpotensi mengalami masalah dalam menjalankan judul dari game yang rilis di Switch pertama.
VGC mencatat Nintendo Switch mengandalkan chip NVIDIA Tegra X1, sebuah chip yang juga digunakan Nvidia Shield Android TV pada 2015 hingga 2018. Chip tersebut sudah sangat outdated sehingga banyak yang percaya Nintendo akan menggantikannya. Tetapi, risikonya adalah game yang sudah dikembangkan agar berjalan menggunakan Tegra X1 dapat membuat emulation lebih sulit di hardware baru.
“Jika Nintendo ingin meninggalkan Tegra X1, yang kita rasa sangat memungkinkan, game Switch yang sekarang tidak akan berjalan di hardware baru, itu kalau tanpa menyusun ulang semua game untuk ditargetkan pada hardware itu,” tutur Modern Vintage Gamer.
Ia menawarkan tiga opsi yang bisa jadi solusinya, yaitu andalkan software emulation yang bagus, memasang compatibility pada sistem baru itu, dan memasang chip baru sekaligus Tegra X1 di Switch 2.
Model Nintendo Switch saat ini disebut sudah sangat menua. Sudah enam tahun semenjak konsol hybrid itu pertama kali hadir di pasaran. Bahkan, beberapa judul game baru belum hadir di Switch karena perbedaan daya jika dibandingkan Xbox dan PlayStation. Tidak heran beberapa judul game AAA seperti A Plague Tale: Requiem, Control, dan Resident Evil Village hanya tersedia sebagai game cloud-based.
Terlebih, sebagai konsol hybrid, Nintendo Switch sebenarnya juga didesain untuk dipakai secara handheld. Tidak heran fleksibilitas itu sekaligus menjadi kelemahannya.
Saat ini, belum diketahui seperti apa keputusan Nintendo selanjutnya dalam mengembangkan konsol barunya itu.
GAMEFINITY.ID, Kabupaten Malang – DLC atau juga biasa dikenal dengan istilah downloadable content merupakan sebuah cara bagi sebuah game untuk menambahkan konten baru. Konten tersebut dapat diberikan secara gratis ataupun berbayar oleh sang developer.
Tentu saja, bila kalian sering bermain game, khususnya game PC, kalian akan sering menemukan DLC di berbagai game. Mulai dari DLC yang berupa kosmetik, map expansion, extended campaign, hingga senjata dan item dapat ditemukan saat ini di berbagai game.
Bahkan, saat ini DLC dapat dijadikan oleh developer sebagai sumber penghasilan utama dalam sebuah game.
Lalu, bagaimanakah DLC bermula? Kapan DLC mulai umum digunakan? Yuk, mari kita bahas!
Ketika DLC Belum Ada
Ketika internet belum merata di seluruh dunia dan game masih dimainkan di konsol tanpa jaringan internet, DLC masih belum ada di era tersebut.
Di tahun 1980-an, para pengembang game dan konsol mengembangkan berbagai cara untuk mendistribusikan game secara digital. Pada saat itu, DLC masih berupa full-game yang dapat dimainkan dengan bentuk non-fisik.
Sebagai contoh adalah Atari 2600 yang mendukung konsumen untuk menambahkan konten game ke dalam konsol yang dikirim via kabel telefon dengan jasa GameLine. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sega dengan Sega Channel miliknya untuk Sega Genesis.
Untuk expansion pack dan hal lainnya, pada saat itu masih didistribusikan secara fisik di game store. Beberapa expansion pack terserbut memerlukan game aslinya untuk dimainkan, namun ada juga yang tidak. Contohnya adalah Half-Life dan spin-off miliknya yang dapat dimainkan tanpa terikat satu sama lain.
Saat DLC Mulai Merambah Dunia Konsol
DLC mulai sering bermunculan saat mendekati milenia baru, di sekitar tahun 2000. Di dunia konsol, Sega Dreamcast lah yang memulai adanya online service di sebuah konsol. Namun penggunaannya untuk pendistribusian DLC masih kurang optimal dikarenakan koneksi yang masih lambat dan adanya keterbatasan memori.
Kemudian konsep ini disempurnakan oleh Xbox dan DLC akhirnya dapat didistribusikan secara online. Beberapa game yang ada di Xbox Live memiliki konten tambahan berupa DLC, contohnya Halo 2.
Setelahnya kesuksesan konsep online di Xbox, Microsoft kembali melakukan pengembangan pada sistem online di Xbox 360. Pengembangan tersebut menghasilkan Xbox Live Marketplace yang memungkinkan pendistribusian game secara digital dan juga penjualan DLC yang terpisah dari game-nya. Dari saat ini jugalah DLC mulai berbentuk konten kecil yang dijual dalam jumlah banyak daripada dijual dalam sebuah expansion pack bundle.
Sony juga melakukan pengembangan yang sama untuk konsolnya. Mereka merilis PlayStation Store sebagai platform distribusi digital khusus untuk PS. Dapat dikatakan tidak ada perbedaan signifikan antara PS Store dan Xbox Marketplace dalam distribusi DLC.
Namun, Nintendo lah yang membuat langkah yang agak sedikit berbeda. Wii Shop Channel yang dikembangkan juga memiliki beberapa DLC. Namun, DLC tersebut rata-rata hanya berupa game lawas Nintendo yang diemulasikan ke Wii.
Di dunia handheld, DLC mulai bermunculan di HP Nokia pada saat itu. Dengan adanya WAP, game yang ada di HP tersebut dapat menambahkan konten dengan didistribusikan secara digital.
Nintendo memiliki pendekatan yang berbeda untuk layanan online milik Nintendo DS. Layanan online milik Nintendo DS hanya menyediakan sebagian kecil DLC yang ada karena sebagian besar DLC sudah termasuk dalam kartridnya. Pendistribusian DLC secara online baru optimal di Nintendo 3DS dengan Nintendo eShop miliknya.
Dan, untuk platform PC, sebenarnya sudah mendistribusikan DLC secara online dari tahun 1997. DLC tersebut biasanya berupa mod dan konten buatan para pemain. Nantinya, DLC akan mulai berjamuran saat platform dsitribusi digital seperti Windows Marketplace (Microsoft Store) dan Steam bermunculan.
Monetisasi
Monetisasi DLC awalnya menimbulkan kotroversi di kalangan gamers. Kontroversi tersebut bermula dari berbagai game di Facebook. DLC pada berbagai game tersebut dianggap tidak sesuai dengan harga yang ditawarkan.
Kontroversi tersebut memuncak dengan hadirnya DLC Horse Armor untuk Elder Scroll’s IV: Oblivion. DLC tersebut sering dianggap overpriced bagi sebagian orang yang beranggapan konten tersebut seharusnya sudah digabung bersama game-nya dari awal. Namun, DLC dari Oblivion tersebut justru malah menjadi arah DLC di masa depan sebagai mesin uang para developer.
Saat ini DLC seringkali digunakan para developer untuk menghasilkan uang dari game yang sudah dirilis. Biasanya uang tersebut akan digunakan untuk pengembangan game selanjutnya.
DLC juga dapat berfungsi sebagai penghasilan utama. Contohnya adalah Sims 4, game tersebut memiliki DLC yang bila ditotal berharga Rp. 11 Juta di harga penuh. Harga tersebut justru jauh lebih banyak daripada harga base game-nya sendiri yang dirumorkan akan menjadi gratis.
GAMEFINITY.ID, Jakarta – Video gaming terutama modifikasi pada konsol game menjadi salah satu yang ditunggu-tunggu bagi penonton yang telah setia mengikuti kontennya. Seorang mod yang populer akhirnya aktif kembali dan mulai membagikan konten konsol gaming-nya, Akaki Kuumeri yang cukup terkenal akan kreativitasnya merakit berbagai perangkat gaming.
Konten terbaru yang dibuatnya saat ini ialah modifikasi perangkat game Nintendo Switch yang populer di kalangan gamer hanya dengan satu tangan saja. Tentunya juga sangat ramah terhadap tangan kidal atau difabel. Kuumeri juga membagikan tahap pembuatan perangkat tersebut sepenuhnya, mulai dari pengenalan bahan dan alat sampai dengan tahap finishing. Simak dibawah bagaimana ia mengerjakannya.
Seperti Ini Proses Pembuatan Konsol Switch Satu Tangan Yang dilakukan Oleh Kuumeri
Melalui video Youtube nya yang berdurasi 10 menitan tersebut, Kuumeri menjelaskan secara detail proses perakitan dari Switch yang bisa dimainkan hanya dengan satu tangan. Diawali dari menggambar sketsa awal sampai dengan hasil jadi dari konsol gaming tersebut. Sangat praktis untuk digunakannya, terutama bagi yang hanya bias menggunakan sebelah tangannya dengan berbagai alasan.
Secara singkatnya Kumeri mengawali videonya dengan menggambar sketsa prototype, dirasa ada sesuatu yang kurang dari fungsi pemakaian, ia mengubah sedikit tombol penggerak game dengan memodifnya dari sparepart yang dilepasnya, sampai dengan hasil jadinya yang begitu nyaman saat digenggam. Selanjutnya pada tahap ujicoba terakhirnya, ia menunjukkan dirinya sedang melakukan tes pemakaian pada salah satu seri dari game Zelda. Menurutnya sederhana.
Tak hanya Zelda saja yang ia coba, ia juga melakukan tes pada game Kirby And The Forgotten Land serta Super Smash Bros. Saat ini perangkat buatannya kini dijual di situs jual beli Etsy dengan harga 200 Dolar Amerika atau sekitar 2,9 jutaan rupiah. Ada yang berminat mencobanya?
Rupanya Kuumeri juga mempersiapkan beberapa proyek lainnya, diantaranya desain konsol pada Playstation 5 dan Microsoft Xbox yang sama praktisnya seperti ia membuat Switch sebelumnya. Kuumeri juga mengatakan bahwa konsol Joy con pada Switch sangat mudah untuk dimodifikasi lantaran setiap pasangnya dapat dibuat dengan fungsi berbeda.
Tertarik ingin mencobanya Gfers atau ingin tahu informasi seputar gaming gears lainnya? Stay tune di Gamefinity. Kalian juga dapat menikmati kemudahan fasilitas top up dan pembelian voucher game juga pulsa di Gamefinity.id.
GAMEFINITY.ID, Kota Batu – Xbox, mungkin orang-orang pada saat perilisannya masih bingung terhadap konsol tersebut. Ketika Sega keluar dari persaingan karena konsol mereka kurang laku, Microsoft tiba-tiba hadir di pasar yang didominasi 2 pihak tersebut.
Microsoft yang notabenenya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perangkat lunak komputer akhirnya mulai terjun ke industri game. Dapat dibilang, masuknya Xbox dalam persaingan konsol dapat dibilang nekat.
Bila dilihat dari pasar saat itu, konsol generasi keenam dipegang oleh dua perusahaan. Sony dengan PlayStation 2 dan Nintendo dengan Gamecube. Sebenarnya ada satu lagi, yaitu Sega dengan Sega Dreamcast, namun konsol tersebut kurang laris dan diminati ketimbang PS2 dan Gamecube yang membuat Sega keluar dari persaingan konsol.
Melihat dari kondisi tersebut, Microsoft dapat dikatakan menjalankan sesuatu yang nekat. Perusahaan seperti Sony dan Nintendo punya pengalaman dalam industri game dan namanya terkenal. Sementara Microsoft sendiri adalah perusahaan yang terkenal oleh pekerja kantoran dengan OS Windows miliknya.
Namun, Microsoft juga tidak asal terjun ke persaingan konsol. Mereka benar-benar berkomitmen dalam pengembangan Xbox milik mereka ini.
Sejarah Pengembangan Xbox
Meskipun kurang pengalaman dalam bidang game, Microsoft bukan berarti tidak memilikinya sama sekali. Mereka baru saja mencapai kesuksesan dengan merilis beberapa game untuk Windows, yaitu Age of Empire dan Microsoft Flight Simulator.
Namun, hadirnya PS2 dengan fungsi multimedia miliknya membuat Bill Gates tersadar. Ia menyadari bahwa PS2 dapat merusak pasar Windows di masa depan. Mulai dari sinilah, pengembangan konsol game milik Microsoft dimulai.
Empat insinyur yang mengembangkan DirectX dikerahkan untuk membuat konsol yang dapat menampung DirectX mereka. Empat orang tersebut adalah Kevin Bachus, Seamus Blackley, Ted Hase, dan Otto Berkes.
DirectX sendiri merupakan teknologi Microsoft yang mengontrol tugas PC untuk menjalankan multimedia khususnya game. Game Age of Empire dan Microsoft Flight Simulator sebelumnya dapat dibuat berkat DirectX ini.
Mereka memulai proyek mereka dengan nama “Midway”. Nama tersebut diambil dari “Battle of Midway”, sebuah peperangan di Pasifik saat perang dunia kedua. Pada perang tersebut, Amerika berhasil mengalahkan Jepang dengan telak.
Sempat terjadi beberapa konflik internal dalam pengembangan Xbox. Tim insinyur di Silivon Valley yang baru saja diakuisisi Microsoft menginginkan Xbox dikembangkan dengan Windows CE hasil garapan mereka. Sementara itu, 4 orang tadi, ingin Xbox dikembangkan berdasarkan DirectX agar dapat kompatibel dengan OS milik mereka.
Pada akhirnya, Bill Gates memutuskan untuk menyerahkan proyek ini ke tim DirectX dengan pengembangan Windows CE milik tim insinyur Silicon Valley. Mereka pun mulai bekerja dengan mengembangkan chip graphic buatan sendiri.
Untuk desainnya diserahkan pada Rick Thompson dan Robert J. Bach yang menyusunnya dengan perangkat dari Dell. CPU-nya diambil dari kerjasama mereka dengan AMD namun digantikan dengan CPU Intel tepat sebelum perilisan.
Nama Xbox sendiri diambil dari nama DirectX Box. Sebelum itu pilihan nama yang ada adalah MTG (Microsoft Total Gaming), MIND (Microsoft Interactive Network Device), WEP (Windows Entertainment Project), dan MIC (Microsoft Interactive Centre).
Sesaat sebelum perilisan, Xbox sendiri mencari beberapa pengembang game untuk merilis game eksklusif untuk konsolnya. Bill Gates mencoba bernegosiasi dengan Sega untuk membuat game Sega Dreamcast kompatibel dengan Xbox, namun negosiasi tersebut gagal.
Pada akhirnya, Xbox mampu menggaet dua pengembang, yaitu Bethesda Software dan Tecmo. Kedua perusahaan tersebut berminat karena kekuatan Xbox yang lebih kuat dari PS2. Game seperti The Elders Scroll II Morrowind dan Dead or Alive 3 akhirnya hadir ekslusif di Xbox.
Microsoft juga tidak tinggal diam. Mereka mengubah divisi game mereka dan membentuk Microsoft Game Division. Divisi tersebut berperan dalam menghadirkan game Halo untuk Xbox.
Xbox secara resmi diumumkan oleh Dwayne Johnson pada acara CES di Las Vegas tanggal 3 Januari 2001. Lalu pada E3 2001 di bulan Mei, Microsoft mengumumkan secara resmi harga dan tanggal perilisan Xbox. Game seperti Halo dan Dead or Alive 3 menjadi perhatian terbesar dalam acara tersebut.
Xbox akhirnya rilis pada 15 November 2001, 3 hari sebelum perilisan Nintendo Gamecube. Terdapat sebuah event pada toko retail di Times Square, New York tempat Bill Gates menjual Xbox pertama kepada pelanggan.
Xbox sendiri berhasil terjual sebanyak 24 juta unit secara global per 10 Mei 2006 setelah produksinya dihentikan pada 2005. Xbox mencapai angka penjualan 1 – 1,5 juta unit per tahun dengan jumlah pengiriman maksimum lebih dari 100,000 unit per minggu.
Namun, penjualannya sendiri di Jepang sangat mengecewakan. Microsoft menargetkan 6 juta unit yang akan terjual di Jepang, namun nyatanya hanya 474,992 unit saja yang terjual. Hal ini dikarenakan adanya brand lokal seperti PS2 dan Gamecube yang bersaing di harga yang jauh lebih murah dan dukungan game produksi lokal yang lebih banyak.
Paling Kuat Mesinnya, Pasarnya Masih Kalah
Tidak diragukan lagi, Xbox adalah konsol paling kuat pada zamannya. Bila dibandingkan dengan PS2 dan Gamecube, Xbox sendiri memiliki mesin yang lebih gahar.
Xbox dibekali dengan CPU Intel Pentium III dengan sedikit kustomisasi dan dibantu GPU NV2A milik Nvidia. Xbox juga telah mengandalkan memori built-in yang menghilangkan fungsi dari memory card.
Namun, mesin kuat itu sendiri dapat berakibat pada harga yang lebih tinggi dari kedua pesaingnya. Ditambah lagi, game eksklusif di Xbox dapat dibilang jauh lebih sedikit dari yang lain.
PS2 contohnya dapat menggaet seri GTA dan Metal Gear Solid untuk konsolnya dan Gamecube dengan seri Resident Evil-nya. Xbox sendiri hanya mengandalkan Halo dan Dead or Alive 3 sebagai game ekslusif utama mereka.
Meski begitu, Xbox masih terus memperbaiki dirinya lebih baik lagi di masa depannya. Rilisnya Xbox 360 membawa perubahan pada pasar konsol. Hingga saat ini, Xbox masih aktif dalam persaingan di industri game. Hal ini juga didukung oleh faktor Microsoft yang akhir-akhir ini mulai fokus untuk mengakuisisi developer ternama.