GAMEFINITY.ID, Bandung – Layanan cloud gaming milik Google, Stadia, sempat dianggap sangat menjanjikan oleh pemain dan kritikus. Ekspektasi pun sangat tinggi sebelum peluncuran resminya pada 19 September 2019. Sayangnya, Google memutuskan untuk mematikannya pada 18 Januari 2023.
Meski Google sebelumnya telah memastikan Stadia tidak akan mati, akhirnya mereka menyerah. Pemain yang menggunakan Stadia dapat dikatakan tergolong kecil. Dengan kata lain, Google telah gagal menarik peminat platform cloud gaming-nya. Berikut ini adalah pemicu Stadia gagal secara spektakuler.
Peluncuran Stadia yang Mengecewakan
Ambisi Google menghadirkan teknologi cloud gaming dapat dikatakan sangat besar. Mereka mengaku Stadia membantu pemainnya mampu bermain game hanya melalui server cloud. Pemain hanya butuh internet untuk bermain game yang tersedia melalui teknologi streaming tanpa konsol atau PC mahal. Pemain dapat mengakses Stadia di gawai apapun, termasuk PC, ponsel, atau tablet.
Saat peluncuran resminya, Stadia sudah mengalami banyak masalah. Harapan pemain saat mencobanya pun berujung kekecewaan. Masalah teknis kerap ditemukan pemain dan kritikus.
Contohnya, The Verge mendapati beberapa fitur yang dijanjikan sama sekali tidak tersedia. Mereka juga mendapati kualitas gambar 4K tidak seperti semestinya.
Peluncuran yang mengecewakan menjadi awal buruk bagi Stadia. Terlebih, pada awal peluncuran, layanan ini hanya 22 judul game. Ironisnya, tier gratisnya belum tersedia hingga April 2020.
Paket berlangganan Stadia Pro dibanderol seharga 9,99 dolar AS. Pelanggan paket ini dapat memainkan koleksi game secara gratis dan memainkannya dalam kualitas gambar 4K.
Studio Game In-house Stadia Ditutup
Google sempat mendirikan divisi Stadia Games and Entertainment demi mengembangkan judul game secara internal. Studio pertamanya didirikan di Montreal pada 24 Oktober 2019, sementara studio keduanya dibuka di Playa Vista, Los Angeles pada Maret 2020. Google juga mengakuisisi Typhoon Studios pada Desember 2019.
Secara mengejutkan, Google menutup Stadia Games and Entertainment pada Februari 2021. Otomatis, Google memutuskan tidak lagi berfokus mengembangkan game eksklusif di Stadia.
Dilansir dari The Verge, manajer general Stadia Phil Harrison mengemukakan, “kami percaya ini adalah jalan terbaik demi membangun Stadia sebagai bisnis jangka panjang yang membantu mengembangkan industri.” Dari pernyataan ini, Google telah berjanji akan berkomitmen pada Stadia sebagai platform.
Bahkan, IGN mencatat bahwa The Quarry dan High on Life sebelumnya dikembangkan di studio milik Google itu. Keduanya berpindah setelah Google menutup studio game internalnya. The Quarry telah rilis Juni 2022 dan mendapat ulasan memuaskan dari kritikus. High on Life dijadwalkan rilis 13 Desember 2022 di PC, Xbox One, dan Xbox Series X|S.
Manajemen yang Buruk
Awal peluncuran dan tutupnya studio internal menjadi dua pertanda besar. Google telah dianggap tidak memahami industri game, apalagi menyediakan platform-nya.
Meski Google telah berinvestasi besar-besaran dan berjanji akan bertahan dalam jangka panjang, Stadia tidak mampu bertahan dari persaingan ketat platform game. Pustaka game-nya masih tidak bertambah secara masif, minimnya komunikasi, dan model bisnis yang buruk. Ketiga hal tersebut menjadi pertanda Google memiliki manajemen buruk terhadap Stadia.
Baca juga: Google akan Segera Menonaktifkan Google Stadia
Masa Depan Cloud Gaming?
Gagalnya Stadia menjadi contoh peringatan bagi industri game. Meski begitu, Stadia tetap memicu tren cloud gaming bagi perusahaan teknologi raksasa. Amazon telah resmi meluncurkan Luna pada 1 Maret 2021. Microsoft mulai berfokus pada Xbox Cloud Gaming mulai dari peluncurannya pada 15 September 2020 khusus pelanggan Xbox Game Pass Ultimate.
Keduanya masih harus bersaing dengan GeForce Now milik Nvidia yang diluncurkan sebagai beta pada 2015 sebelum resmi hadir Februari 2020. Ketiganya telah berekspansi dalam pengembangannya dan menawarkan berbagai keuntungan tersendiri.
Google Stadia dapat dikatakan sebagai salah satu pionir teknologi cloud gaming. Namun, awal yang mengecewakan, minim judul game dari studio internal, dan manajemen yang buruk menjadi pemicu kegagalan secara spektakuler. Ini menjadi salah satu kegagalan besar bagi Google.